Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-11-04 at 12.45.35.jpeg
Aktivis dan akademisi membacakan surat penolakan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto di Kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (4/11/2025). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Intinya sih...

  • Marzuki Darusman menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto

  • Ia menilai langkah itu sebagai pengabaian negara terhadap pelanggaran HAM

  • Marzuki juga menyoroti ikatan kekerabatan antara Prabowo Subianto dan Soeharto

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Mantan Jaksa Agung RI, Marzuki Darusman, menolak keras wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto di era pemerintahan Prabowo Subianto. Ia menilai langkah itu sebagai bentuk pengabaian negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

“Kita sedang dalam hari-hari menjelang jikalau Presiden Soeharto dianugerahkan gelar pahlawan nasional, maka itu adalah pengabaian dan ketidakpekaan yang monumental dari negara ini terhadap pelanggaran hak asasi,” ujar Marzuki dalam konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Selasa (4/11/2025).

1. Masyarakat sudah banyak memberi toleransi pada penyimpangan

Aktivis dan akademisi membacakan surat penolakan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto di Kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (4/11/2025). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Marzuki menilai masyarakat telah terlalu banyak menolerir berbagai penyimpangan dalam kehidupan berbangsa. Karena itu, menurutnya, publik harus bersikap jika gelar tersebut benar diberikan kepada Soeharto.

"Ini selama satu tahun ini kita sudah mentolerir anomali-anomali yang disampaikan oleh saudara sekalian. Tetapi kalau sampai Presiden Soeharto dinyatakan sebagai pahlawan nasional, di situ kita tarik garis. Pada hari ini, itulah yang menjadi pertanda dari sikap kita," ujarnya.

Ia menyebut langkah memberi gelar pahlawan kepada Soeharto akan menjadi batas moral bagi masyarakat sipil untuk menunjukkan sikap penolakan.

2. Pengabaian terhadap sejarah dan pelanggaran HAM

Utati Koesalah perempuan tahanan politik 1965 tolak gelar pahlawan nasional pada Soeharto. (YouTube.com/Yayasan LBH Indonesia)

Marzuki menegaskan, pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional menunjukkan pengabaian terhadap sejarah kelam bangsa. Ia menyinggung sejumlah kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan hingga kini.

“Gerakan-gerakan itu antara lain tentang gerakan kamisan, Munir. Pengabaian yang tidak ada taranya dalam sejarah politik kita untuk diselesaikan,” ujar mantan Ketua Komnas HAM itu.

Ia menilai, selama kejahatan masa lalu belum diselesaikan, negara tidak pantas memberi penghargaan kepada sosok yang terlibat di dalamnya.

3. Soroti ikatan Prabowo–Soeharto dan TAP MPR XI/1998

Aksi Demonsrtasi Menolak Gelar Pahlawan Soeharto. Sumber: TRIBUNNEWS/HERUDIN

Marzuki juga menyinggung Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Ia menegaskan, TAP tersebut masih berlaku dan secara eksplisit menyebut nama Presiden Soeharto.

“TAP MPR itu menyatakan dengan jelas, Presiden Soeharto dalam kaitan dengan korupsi massal selama 30 tahun perlu diproses dan diadili hingga hari ini,” kata Marzuki.

Ia menilai wacana penghapusan nama Soeharto dari TAP itu menyesatkan dan tidak berdasar secara hukum.

“Karena itulah dari segi hukum saja semata-mata sudah tidak bisa Presiden Soeharto diberikan gelar kepahlawanan itu,” bebernya.

Selain itu, Marzuki juga menyoroti hubungan kekerabatan antara Prabowo Subianto dan Soeharto, serta adanya upaya penulisan ulang sejarah nasional yang dinilainya berpotensi bias politik.

Editorial Team