Ratusan Tokoh Surati Prabowo, Tolak Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

- Soroti pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan, termasuk peristiwa 1965–1966 dan kekerasan di Aceh, Papua, dan Timor Timur.
 - Bahas KKN hingga monopoli bisnis keluarga Cendana, serta pemberangusan demokrasi dan kebebasan berpendapat selama masa Orde Baru.
 - Soeharto merupakan mertua Presiden Prabowo, potensi benturan kepentingan dengan situasi yang mirip dengan penolakan gelar Pahlawan Nasional kepada Sarwo Edhie Wibowo.
 
Jakarta, IDN Times - Sebanyak 486 tokoh dari berbagai latar belakang mulai dari akademisi, aktivis, jurnalis, hingga diaspora Indonesia di luar negeri menandatangani surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto. Surat tersebut berisi penolakan atas rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mendiang Presiden Soeharto.
Surat itu dikirim ke Istana Merdeka pada Selasa pagi, 4 November 2025, dan dibacakan ulang secara langsung oleh Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, siang tadi.
Dalam surat sepanjang 10 halaman itu, para penandatangan menegaskan bahwa penganugerahan gelar tersebut akan menjadi “pengkhianatan terhadap reformasi dan nilai-nilai demokrasi”. Mereka menilai rekam jejak Soeharto selama 32 tahun berkuasa tidak mencerminkan nilai kepahlawanan sebagaimana diatur dalam tradisi nasional.
“Kami rakyat Indonesia dari berbagai elemen dan latar belakang, di Indonesia maupun di luar Indonesia, dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab, menyatakan penolakan kami terhadap rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mendiang Presiden Soeharto,” demikian petikan pembuka surat tersebut
1. Soroti pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan

Dalam dokumen itu, ada empat alasan utama yang dikemukakan sebagai dasar penolakan. Pertama, pelanggaran berat hak asasi manusia yang belum terselesaikan, termasuk peristiwa 1965–1966, penembakan misterius 1982–1985, serta kekerasan di Aceh, Papua, dan Timor Timur.
“Korban dan keluarganya belum mendapat pengakuan dan keadilan,” tulis mereka.
2. Bahas KKN hingga monopoli bisnis keluarga Cendana

Kedua, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang disebut telah merajalela dan membentuk budaya selama masa Orde Baru. Surat itu menyinggung monopoli bisnis keluarga Cendana, skandal BLBI, serta yayasan keluarga Soeharto yang dianggap sebagai alat penghimpun dana paksa.
Ketiga, pemberangusan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Rezim Soeharto dinilai mengerdilkan partai politik, membatasi kebebasan pers, dan menggunakan doktrin Dwi Fungsi ABRI untuk menekan oposisi.
Keempat, dampak sosial-ekonomi yang timpang akibat kebijakan pembangunan terpusat di Jawa dan praktik KKN yang memperlebar kesenjangan.
3. Soeharto merupakan mantan mertua Presiden Prabowo

Para penandatangan surat juga menyinggung potensi benturan kepentingan (conflict of interest) karena Soeharto merupakan mertua Presiden Prabowo. Mereka membandingkan situasi ini dengan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menolak memberi gelar Pahlawan Nasional kepada mertuanya sendiri, Sarwo Edhie Wibowo.
“Tindakan Saudara menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akan menjadi pertanda nyata matinya reformasi di Indonesia,” demikian kutipan surat itu.Surat itu juga memperingatkan potensi penolakan luas dari generasi muda.
“Saudara akan mendapat respons penolakan puluhan juta Generasi Z Indonesia yang sulit dibendung karena mereka bagian dari jaringan global yang tidak tergabung dalam organisasi resmi apa pun," bunyi surat itu.
4. Khawatir kaburkan sejarah

Dalam bagian penutupnya, para tokoh tersebut menilai pemberian gelar kepada Soeharto akan mengaburkan sejarah dan mengkhianati para korban. Mereka menyerukan agar bangsa belajar dari masa lalu dengan cara yang jernih dan kritis.
“Gelar ini hanya layak diberikan kepada mereka yang benar-benar berjuang untuk kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, serta kedaulatan rakyat; bukan kepada pemimpin yang masa jabatannya diwarnai otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia rakyatnya,” bunyi pernyataan itu.
Di antara 486 penandatangan tercatat nama-nama seperti Marzuki Darusman, Ani Soetjipto, Muhammad Isnur, Nany Afrida, Nenden Sekar Arum, dan Natalia Soebagjo hingga Romo Magnis.


















