Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Getir Korban 65 Tolak Soeharto Dapat Gelar Pahlawan: Tidak Pantas

WhatsApp Image 2025-11-04 at 16.08.29.jpeg
Utati Koesalah perempuan tahanan politik 1965 tolak gelar pahlawan nasional pada Soeharto. (YouTube.com/Yayasan LBH Indonesia)
Intinya sih...
  • Utati Koesalah, tahanan politik 1965, menolak gelar pahlawan bagi Soeharto karena tidak pernah diadili dan masih merasa belum punya hak asasi.
  • Istilah "bersih lingkungan" membuat anak dan cucunya dicap tidak layak, terhalang untuk bekerja atau bersekolah di tempat tertentu.
  • Keturunan korban 1965 dilarang bicara tentang masa lalu, seolah itu adalah aib, menyebabkan banyak korban masih hidup dalam ketakutan karena stigma yang mengekang.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Kedua RI Soeharto, memantik luka lama yang memang tak pernah kering di hati Utati Koesalah. Dia adalah perempuan tahanan politik 1965 yang pernah merasakan perihnya tinggal di rumah tahanan Bukti Duri.

Polemik gelar pahlawan bagi Soeharto mengingatkan kembali momen hidupnya saat ditahan tanpa diadili. Hidup tanpa kebebasan hingga saat ini.

"Saya bilang tidak pantas kalau Bapak Presiden kedua kita itu diangkat menjadi pahlawan nasional," kata Utati di gedung YLBHI, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

1. Tidak pernah diadili dan belum merasakan hak asasi

WhatsApp Image 2025-11-04 at 16.09.12.jpeg
Utati Koesalah perempuan tahanan politik 1965 tolak gelar pahlawan nasional pada Soeharto. (YouTube.com/Yayasan LBH Indonesia)

Utati adalah anggota Pemuda Rakyat yang 11 tahun ditahan di Rutan Bukit Duri. Dia tidak pernah diadili maupun membela diri. Hingga kini, dia merasa belum punya hak asasi, meski dibebaskan saat revolusi 1998, dan bisa melalangbuana tanpa dikekang sepenuhnya.

"Memang sesudah 60 tahun sampai tahun ini, hak asasi saya belum diberikan. Apa-apa masih khawatir, apalagi anak-anak yang punya anak, ini korbannya banyak tadi, korban sosial itu banyak dari keluarga kami. Karena tidak boleh ini, tidak boleh itu anak-anaknya, dan itu teman-teman daerah juga," kata dia.

2. Istilah bersih lingkungan menjadi luka paling dalam

WhatsApp Image 2025-11-04 at 12.45.35 (1).jpeg
Aktivis dan akademisi membacakan surat penolakan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto di Kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (4/11/2025). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Utati mengungkap betapa istilah “bersih lingkungan” menjadi luka paling dalam bagi keluarganya. Status itu membuat anak dan cucunya dicap tidak layak, terhalang untuk bekerja atau bersekolah di tempat tertentu. Dia menceritakan bagaimana pasca-penahanan, setiap langkah diawasi ketat, bahkan untuk keluar kota pun harus melapor. Pengawasan dan pembatasan membuat hidup mereka seolah tak pernah benar-benar bebas.

Baru setelah reformasi 1998, dia dan rekan-rekannya mulai berani berkumpul tanpa rasa takut berlebihan. Meski begitu, trauma akibat pengawasan dan stigma masa lalu masih membekas kuat, menahan banyak korban dari keterbukaan penuh. Kini suaranya memang kembali muncul lewat Paduan Suara yang diikutinya, dia bergabung dengan Dialita.

Utati mewakili ratusan ribu orang yang ditangkap, ditahan, tidak pernah diadili, dan kemudian dibebaskan. Ketika dibebaskan harus mengucapkan pernyataan setia kepada negara, yaitu setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

"Mungkin kalau mau diangkat ya, ini maaf guyon aja, mungkin pahlawan untuk keluarganya sendiri atau pengikut-pengikutnya. Tapi kalau kami, kami tetap menolak. Mungkin cukup itu saja," katanya.

3. Keturuan dilarang bicara tentang masa lalu, seolah itu adalah aib

Aksi Demonsrtasi Menolak Gelar Pahlawan Soeharto.
Aksi Demonsrtasi Menolak Gelar Pahlawan Soeharto. Sumber: TRIBUNNEWS/HERUDIN

Utati mengatakan, banyak korban yang masih hidup dalam ketakutan karena stigma yang mengekang. Sejak kecil keturunan mereka diajarkan untuk diam, dilarang bicara tentang masa lalu, seolah kebenaran adalah aib. Anak-anak takut mengakui siapa ayah atau ibunya, sebab pengakuan berarti risiko dianggap tidak bersih, dijauhkan dari pekerjaan, bahkan diasingkan oleh lingkungan.

Profesi seperti guru, pegawai negeri, atau seniman pun bisa tertutup bagi mereka. Hingga kini, sebagian korban tetap menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Ada yang hanya berani bercerita pada anak, tapi tidak pada mertua, besan, atau menantu karena takut luka lama terbuka dan kembali dihakimi.

"Menurut saya, penderitaan itu sampai sekarang masih kami alami. Jadi kalau presiden yang melakukan begitu banyak tekanan pada kami terus mau diangkat menjadi pahlawan nasional, itu rasanya kami tidak rela. Saya terutama ya, karena saya di sini sebagai korban langsung," kata dia.

Share
Topics
Editorial Team
Sunariyah Sunariyah
EditorSunariyah Sunariyah
Follow Us

Latest in News

See More

Status Melani Mecimapro Tetap Tersangka Meski Masa Penahanan Habis

04 Nov 2025, 21:38 WIBNews