Jakarta, IDN Times - "Terima kasih tim Wascove! Kami pamit". Tulisan yang dipasang di feed akun Instagram dan Twitter resmi Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman menghentak perhatian publik pada 31 Desember 2021. Mereka bingung mengapa tiba-tiba lembaga penelitian prestisius di Indonesia itu mohon pamit dan memberi sinyal akan ditutup.
"It is not good bye. It is see you again to all my colleagues and great researchers at Lembaga Eijkman. Hoping that all the great minds there, will not be deterred by all the bureaucratic restruction going on," demikian respons yang diberikan ahli biologi molekuler asal Indonesia yang kini menetap di Australia, Ines Atmosukarto, merespons cuitan di akun Eijkman itu.
Belakangan terungkap bahwa sebagian besar peneliti di Eijkman yang bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) diputus kontraknya oleh pemerintah. Ini merupakan dampak dari peleburan semua lembaga penelitian dan unit penelitian di instansi kementerian ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
BRIN merupakan lembaga baru yang diresmikan pada April lalu lewat Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021. Instansi itu dijadikan lembaga riset terintegrasi satu pintu yang menggabungkan sejumlah lembaga riset yang sebelumnya sudah mapan.
Selain Eijkman, BRIN juga menjadi rumah baru untuk para pegawai yang semula bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN), serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Itu belum ditambah sekitar 44 unit penelitian, penerapan dan pengkajian di berbagai kementerian.
Maka diprediksi ada sekitar 15 ribu peneliti yang bakal bergabung di BRIN. Mereka akan pindah berkantor di Cibinong, Bogor.
Sayangnya, tak semua peneliti itu bisa diangkut ke BRIN. Sebab, instansi itu hanya mau mengangkut peneliti yang berstatus PNS. Alhasil, bagi Eijkman, mereka kehilangan sekitar 71 staf peneliti yang kontraknya tak diperpanjang dan tak diberi kompensasi apa pun.
Hal serupa juga terjadi di lembaga penelitian lainnya. Maka, praktis tercipta pemutusan hubungan kerja secara massal di awal 2022 dan pandemik masih mendera.
Publik dan sebagian peneliti pun hanya bisa melampiaskan kekesalan di media sosial karena pemerintah terlihat tak berusaha membenahi keadaan. Kata "Eijkman" pun sempat trending. Mereka menilai masa depan riset Indonesia sudah padam karena perlakuan terhadap peneliti sangat tidak layak. Apakah kekhawatiran itu berlebihan?