Profil Faisal Basri, Ekonom yang Sebut Pemerintah Politisasi El Nino

Faisal Basri kerap mengkritik pedas pemerintah

Jakarta, IDN Times - Ekonom senior, Faisal Basri menjadi salah satu ahli dalam sidang lanjutan pembuktian Pemohon I, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam kesempatan itu, Faisal menyampaikan berbagai keterlibatan pemerintah dalam memenangkan paslon nomor urut dua, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, melalui program bantuan sosial (bansos).

Faisal Basri menilai, pemerintah memanfaatkan isu El Nino untuk kepentingan politik jelang Pemilu 2024. Menurutnya, pemerintah sengaja menciptakan narasi bencana El Nino untuk mendukung program bansos dan impor beras.

Faisal merasa bahwa pemerintah menciptakan panggung dramatisasi dengan memperpanjang isu El Nino meskipun situasinya telah mereda. Ia mengecam tindakan pemerintah yang dianggap memanfaatkan isu-isu ini hanya untuk meningkatkan popularitas politik.

Meskipun data menunjukkan bahwa luas lahan panen dan produksi beras pada tahun lalu tidak mengalami penurunan yang signifikan, pemerintah tetap mengimpor beras dalam jumlah besar, yang menurut Faisal dilakukan untuk kepentingan elektoral.

Baca Juga: Faisal Basri Sebut Pemerintah Politisasi El Nino demi Tingkatkan Suara

1. Profil Faisal Basri

Profil Faisal Basri, Ekonom yang Sebut Pemerintah Politisasi El NinoFaisal Basri (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Faisal Batubara atau yang lebih dikenal dengan nama Faisal Basri, lahir di Bandung pada 6 Februari 1959. Faisal Basri merupakan seorang ekonom senior berdarah Batak Mandailing yang kerap mengkritik pemerintah.

Ia mengambil nama "Basri" dari nama ayahnya, Hasan Basri Batubara, sebagai tanda penghormatan. Ibunya bernama Saidah Nasution. Selain itu, Faisal Basri juga dikenal sebagai keponakan dari mantan Wakil Presiden RI, Adam Malik.

Faisal menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya, kemudian, ia pindah ke ibu kota dan tinggal di Kawasan Guntur Halimun, Jakarta Selatan. Ia menempuh pendidikan tingkat sekolah dasar dan menengah di dekat rumahnya, lalu menempuh pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 3 Jakarta.

Faisal Basri menikah dengan Syahfitri Nasution. Mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Anwar Ibrahim Basir, Siti Nabila Azuraa Basri, dan Mohamad Atar Basri.

Baca Juga: Profil Romo Magnis, Filsuf yang Dicecar di Sidang Sengketa Pilpres

2. Pendidikan dan karier Faisal Basri

Profil Faisal Basri, Ekonom yang Sebut Pemerintah Politisasi El NinoTangkapan virtual Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri dalam Diskusi Publik (youtube.com/indef)

Mengutip laman LPEM FEB UI, Faisal melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dengan jurusan Ekonomi Studi Pembangunan.

Selama masa kuliahnya, Faisal sering terlibat dalam berbagai kegiatan mahasiswa di bidang sosial. Terutama, pada saat itu, sedang terjadi gejolak dalam perlawanan terhadap Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh rezim Orde Baru (Orba) yang mendorongnya untuk aktif terlibat dalam perlawanan tersebut.

Setelah lulus dengan gelar sarjana pada tahun 1981, Faisal melanjutkan pendidikannya ke tingkat S2 dan meraih gelar Magister of Arts (MA) dalam bidang ekonomi dari Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika Serikat.

Faisal Basri memulai kariernya sebagai peneliti dengan pangkat Junior Research Assistant di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) pada tahun 1981. Kariernya terus menanjak hingga pada 1991 ia dipromosikan menjadi Wakil Direktur LPEM. Dua tahun setelahnya, Faisal Basri diangkat sebagai Direktur LPEM.

Selain meniti karier di LPEM, Faisal juga aktif sebagai dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB-UI) hingga saat ini. Ia mengajar berbagai mata kuliah ekonomi dan ekonomi politik, serta Program Pascasarjana Universitas Indonesia sejak tahun 1988.

Di bidang akademis, ia memegang beberapa posisi penting di FEUI, ia juga terlibat dalam kegiatan di luar kampus seperti menjadi Ketua STIE Perbanas Jakarta (1999–2003) dan sebagai salah satu pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 1995–2000.

Sebagai seorang ekonom, Faisal dikenal kritis terhadap kebijakan ekonomi pemerintah dan aktif menyuarakan pandangannya melalui jurnal, makalah, dan buku-buku yang ia publikasikan.

Faisal turut terlibat dalam dunia politik, mulai dari mendirikan Majelis Amanah Rakyat (MARA) yang menjadi dasar pembentukan Partai Amanat Nasional (PAN), hingga mencalonkan diri sebagai calon gubernur DKI Jakarta melalui jalur independen pada 2007 dan 2012 lalu.

Selain itu, ia juga terlibat dalam beberapa organisasi nirlaba dan mendapatkan pengakuan sebagai anggota Tim Ahli Satgas TPPU pada tahun 2023 di bawah kepemimpinan Menko Polhukam Mahfud MD.

Faisal kerap memuat tulisan-tulisan dari pemikirannya tentang isu ekonomi yang tengah bergulir, seperti hilirisasi, ekonomi politik, hingga korupsi yang merugikan negara melalui website pribadinya.

3. Jejak kritik Faisal Basri soal hilirisasi nikel hingga penurunan skor demokrasi

Profil Faisal Basri, Ekonom yang Sebut Pemerintah Politisasi El NinoFaisal Basri (ANTARA/Reno Esnir)

Nama Faisal Basri kerap mencuat karena kritik pedasnya kepada pemerintah.

Salah satu kritik kerasnya mengenai hilirisasi pertambangan, khususnya nikel. Menurutnya, sebagian besar keuntungan dari proses hilirisasi tersebut tidak dirasakan oleh Indonesia, melainkan mengalir ke China. Faisal mengungkapkan bahwa sekitar 90 persen keuntungan dari hilirisasi nikel ini beralih ke China.

Selain itu, Faisal juga menyoroti Presiden Joko Widodo dan para menterinya yang sering kali menonjolkan pencapaian hilirisasi nikel, namun tidak diiringi dengan strategi industrialisasi yang kokoh. 

Lebih lanjut, Faisal juga mengkritik proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yang dikenal dengan sebutan Whoosh. Menurut perhitungannya, proyek kereta cepat ini baru akan mencapai titik impas atau balik modal setelah 139 tahun.

Jelang Pilpres 2024 kemarin, Faisal mengungkapkan sejumlah kritik terhadap kondisi Indonesia. Salah satunya adalah kenaikan harga beras yang tidak diimbangi dengan penurunan impor yang menyebabkan masalah bagi negara.

Selain itu, ia mencatat perlambatan pertumbuhan ekonomi di bawah kepemimpinan Joko Widodo, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 4,7 persen. Meskipun angka pengangguran menurun, Faisal menyoroti bahwa penciptaan lapangan kerja semakin tidak berkualitas, dengan meningkatnya jumlah pekerja informal dan ketimpangan yang semakin memburuk.

Di sektor pendidikan, ia menunjukkan keprihatinan atas kemunduran beberapa indikator pendidikan Indonesia dibandingkan dengan tahun 2000. Faisal juga mencatat penurunan harapan hidup Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, yang bahkan lebih rendah dari negara Timor Leste.

Terakhir, ia menyoroti penurunan indeks demokrasi Indonesia menjadi peringkat 115 tahun 2023, yang tercermin dalam penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan skor demokrasi secara keseluruhan.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya