Profil Romo Magnis, Filsuf yang Dicecar di Sidang Sengketa Pilpres

Romo Magnis mendapat Bintang Mahaputera Utama dari Presiden

Jakarta, IDN Times - Guru besar filsafat dan etika Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis Suseno atau yang lebih dikenal Romo Magnis menjadi salah satu saksi ahli dalam sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 2 April 2024.

Pada kesempatan tersebut, Romo Magnis berbicara perspektifnya terhadap sengketa Pilpres 2024. Selain itu, ia juga menyinggung prinsip-prinsip etika politik serta penggunaan bantuan sosial (bansos) yang dieksploitasi untuk kepentingan tertentu.

Setelah memberikan keterangan, hakim konstitusi dan sejumlah pihak yang hadir melontarkan beberapa pertanyaan kepada Romo Magnis. 

Mendapat rentetan pertanyaan itu, Romo Magnis tak langsung menjawab. Ia meminta pengertian peserta sidang jika ada pertanyaan yang lupa dijawab.

"Terima kasih. Pertama, mohon perhatian bahwa otak saya berumur 87 tahun. Berarti belum tentu saya masih ingat semua pertanyaannya," kata dia dalam sidang.

Baca Juga: Momen Romo Magnis Dicecar Pertanyaan di Sidang Sengketa Pemilu

1. Profil Romo Magnis

Profil Romo Magnis, Filsuf yang Dicecar di Sidang Sengketa PilpresProfesor filsafat STF Driyarkara Romo Franz Magnis Suseno saat menjadi saksi dalam sidang PHPU sengketa Pilpres 2024 di MK, Rabu (3/4/2024). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nym))

Franz Magnis memiliki nama lengkap Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis. Lahir di Nurnberg, Jerman, pada 26 Mei 1936, ia adalah anak sulung dari enam bersaudara yang merupakan keturunan dari Dr. Ferdinand Graf von Magnis dan Maria Anna Grafin von Magnis.

Sebagai seorang tokoh, ia telah menjadi figur yang berpengaruh dalam melayani umat Katolik dan dunia akademis sebagai seorang dosen. 

Keluarga ayah Romo Magnis berasal dari kalangan bangsawan yang memiliki wilayah hutan di Silesia, Jerman Timur. Namun, akibat Perang Dunia II, wilayah tersebut berpindah ke Polandia yang mengakibatkan keluarga Romo Magnis kehilangan harta dan tanah warisannya.

Mereka termasuk salah satu dari 14 juta orang Jerman yang terpaksa diusir dari Eropa Timur, karena dampak perang yang dilancarkan Jerman. Franz bersama orang tua dan adik-adiknya yang dulunya adalah keluarga bangsawan, terpaksa harus merasakan tidur dengan perut kosong setiap malamnya.

2. Pendidikan dan karir Romo Magnis

Profil Romo Magnis, Filsuf yang Dicecar di Sidang Sengketa PilpresGuru besar UI dan Romo Magnis saat Seruan Salemba, Kamis (14/3/2024) (IDN Times/Maulana Ridhwan)

Sempat tidak disetujui orang tuanya karena sedang terpuruk, Franz Magnis memilih bersekolah di Kolese Yesuit di St. Blasien dan lulus pada 1955. Setelahnya, Romo Magnis bergabung dengan Ordo Yesuit dan mendedikasikan dirinya sebagai rohaniawan muda Katolik.

Selama dua tahun pertama di Ordo Yesuit, Romo Magnis fokus pada pengembangan spiritualnya di Neuhauseun. Ia juga menekuni studi filsafat di Philosophische Hochschule, dekat München hingga 1960.

Satu tahun sebelum menyelesaikan pendidikannya, Romo Magnis berhasil memperoleh gelar akademik Bakalaureat dalam bidang filsafat. Setelah menyelesaikan studi di Philosophische Hochschule, ia mendapatkan gelar Lizentiat.

Pada 1961 menginjak usia 25 tahun, Romo Magnis memutuskan berangkat ke Indonesia untuk memulai tugasnya sebagai misionaris Ordo Yesuit.

Setibanya di Indonesia, ia menggeluti studi dalam bidang filsafat dan teologi. Selama enam tahun berada di Indonesia, ia aktif sebagai pastor sebelum akhirnya dikirim untuk melanjutkan studi di Jerman, demi meraih gelar doktor dalam bidang filsafat.

Pada 1969, bersama dengan beberapa rekan dan Ordo Fransiskan, Romo Magnis berinisiatif mendirikan sebuah perguruan tinggi filsafat. Perguruan tinggi ini kemudian diberi nama Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, yang merupakan upaya untuk meneruskan warisan ahli filsafat Nicolaus Driyarkara SJ.

Romo Magnis, selain menjadi Guru Besar Filsafat di STF Driyarkara Jakarta, pernah menjabat sebagai dekan dan Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Ia juga produktif dalam menulis, dengan beberapa karyanya yang terkenal di antaranya adalah "Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern" (1991), "Manusia Seutuhnya: Sebuah Refleksi Filsafat tentang Manusia" (1977), "Filsafat Pancasila: Dari Realitas Menuju Cita-cita" (1987), "Kebudayaan dan Politik: Etika Pembangunan di Indonesia" (1992), dan "Membangun Demokrasi: Etika Politik di Indonesia Masa Kini" (2001).

Pada 1977, Romo Magnis secara resmi memperoleh kewarganegaraan Indonesia dan memilih berkarya sebagai pengajar. Dedikasinya dalam bidang pendidikan membawanya menjadi dosen di beberapa universitas terkemuka di Indonesia.

Pada 1 April 1996, ia diangkat sebagai Guru Besar filsafat di STF Driyarkara. Penghargaan Bintang Mahaputera Utama diberikan oleh Presiden RI pada 2015, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 83/TK/Tahun 2015 tanggal 7 Agustus 2015.

Pada 2022, Romo Magnis menjadi sorotan saat memberikan kesaksian sebagai ahli dalam persidangan kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat (Brigadir J) pada 26 Desember 2022, di mana ia hadir sebagai saksi ahli dari pihak Bhatrada Richard Elizer (Bharada E).

Baca Juga: Profil Yudhistira Massardi: Sastrawan Penulis Arjuna Mencari Cinta

3. Jadi saksi ahli Ganjar-Mahfud, Romo Magnis sebut presiden mirip mafia

Profil Romo Magnis, Filsuf yang Dicecar di Sidang Sengketa PilpresFilsuf Franz Magnis Suseno (Romo Magnis) dihadirkan oleh kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD di sidang PUHP pada Selasa (2/4/2024). (YouTube.com/Mahkamah Konstitusi RI)

Romo Magnis kembali hadir sebagai saksi ahli kubu Ganjar-Mahfud dalam sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam keterangannya, Romo Magnis menyampaikan beberapa poin pelanggaran yang terjadi selama Pilpres 2024.

Romo Magnis mencatat beberapa dugaan pelanggaran, termasuk pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres), keberpihakan Jokowi pada salah satu calon dan praktik nepotisme.

Selain itu, ia menyoroti penyaluran bantuan sosial (bansos) yang terjadi secara besar-besaran menjelang Pilpres 2024. Ia juga menekankan manipulasi yang terlihat jelas dalam proses Pemilu 2024.

Romo Magnis juga menyoroti etika yang dilakukan seorang presiden. Seharusnya, menurut dia, presiden memiliki etika untuk tidak menguntungkan pihak tertentu dalam kekuasaannya.

"Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu membuat presiden menjadi mirip dengan pimpinan organisasi mafia. Di sini dapat diingatkan bahwa wawasan etis presiden Indonesia dirumuskan dengan bagus dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945," ujar Romo Magnis.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya