Deretan Pasal Bermasalah di Draf Final RKUHP, Ada soal Live Streaming

Sebagian terakomodir dan masuk dalam 14 isu krusial

Jakarta, IDN Times — Pemerintah telah merampungkan draf final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan diserahkan kepada Komisi III DPR RI.

Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menilai, ada sejumlah pasal bermasalah yang masih tertera dalam draf final tersebut. Sebagian dari pasal bermasalah itu terakomodir dan masuk dalam 14 isu krusial yang akan dibahas oleh Komisi III DPR sebelum disahkan menjadi undang-undang.

Berikut deretan pasal bermasalah yang masih tertera di draf final RKUHP hasil penelusuran IDN Times.

Baca Juga: Draf Final RKUHP Atur Hukuman Diskriminasi Ras hingga Agama

1. Pasal 2 dan Pasal 595 terkait living law

Deretan Pasal Bermasalah di Draf Final RKUHP, Ada soal Live StreamingIlustrasi Masyarakat Adat

Draf final RKUHP masih mengatur tentang hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai, living law sama dengan pidana adat memiliki konsekuensi besar, karena hukum pidana adat belum berarti hukum living law dalam arti hukum yang senyata-nyatanya dianut dan dipraktikkan dalam masyarakat.

Dengan demikian, living law berisiko dijadikan alasan oleh aparat dalam melakukan penghukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana adat.

"Semangat untuk mengakomodasi living law akan menimbulkan kebingungan karena RKUHP tidak mengatur makna living law dengan jelas. Istilah hukum yang hidup digunakan silih berganti dengan berbagai istilah lain dalam RKUHP, di antaranya hukum yang hidup dalam masyarakat', norma kesusilaan, kewajiban adat setempat, nilai hukum dan keadilan," tulis Aliansi Nasional Reformasi KUHP dalam tanggapannya.

2. Tindak pidana mati dalam Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, dan Pasal 102

Dalam KUHP sebelumnya, tindak pidana mati ditempatkan salah satu pidana pokok. Sementara di RKUHP menempatkan pidana mati sebagai pidana terakhir, yang dijatuhkan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana.

Meski ketentuan masa percobaan diperkenalkan, Aliansi Nasional Reformasi KUHP memandang tidak semua terpidana mati dapat memperoleh kesempatan tersebut.

Aliansi menilai, pidana mati seharusnya dihapus sesuai dengan perkembangan bahwa 2/3 negara di dunia sudah mengapus aturan hukuman mati.

3. Pasal 252 terkait pernyataan melakukan tindak pidana karena berkekuatan gaib

Draft final RKUHP menyertakan pemidanaan pada orang berkekuatan gaib yang dengan sengaja dan terbukti memberikan bantuan jasa, atau menawarkan harapan dengan tujuan melukai atau mencari keuntungan pribadi.

Ancaman pidana dikurangi dengan Modified Delphi Method menjadi 1 tahun 6 bulan. Menurut Aliansi, tindak pidana ini perlu dikriminalisasi karena sangat kriminogen atau dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana lain.

“Tindak pidana ini sukar dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan semata-mata, sebab aspek kriminogen dan viktimogennya (dapat menyebabkan kerugian berbagai kepentingan) multidimensional,” tuturnya.

4. Pasal 281 tentang contempt of court, larangan aktivitas siaran langsung atau live streaming

Reformulasi aturan ini ditujukan untuk mencegah dilakukannya siaran langsung pada saat sidang diselenggarakan, demi ketertiban umum dan untuk menghindari opini publik yang dapat mempengaruhi putusan hakim.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai, aturan ini memuat rumusan karet dan berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers dengan melarang aktivitas siaran langsung atau live streaming.

“Memuat rumusan karet, berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers dengan dilarangnya live streaming,” kata Aliansi.

5. Pasal 278 tentang unggas yang merusak kebun yang ditaburi benih

Dalam draf final RKUHP, setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih tanaman milik orang lain yang menimbulkan kerugian, dapat dipidana.

Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, aturan ini perlu dievaluasi lebih jauh untuk melihat relevansinya di lapangan.

“Apabila diperlukan, ketentuan ini sebaiknya diatur dalam tingkat perda sebagai pelanggaran adiminstratif, karena ancaman pidana dalam RKUHP lebih tinggi dibandingkan dengan KUHP," ujarnya.

6. Pasal 304 terkait penodaan agama

Deretan Pasal Bermasalah di Draf Final RKUHP, Ada soal Live StreamingReno Esnir/ANTARA FOTO

Pasal 304 RKUHP memuat setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyebut, ayat (1) dalam pasal ini telah tepat dengan mengakomodir bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang berkaitan dengan menimbulkan permusuhan atau hate speech.

Namun dalam ayat (2), masih dengan framework delik terhadap penodaan agama maupun kepercayaan di Indonesia yang tidak berorientasi pada perlindungan kebebasan beragama bagi individu untuk melaksanakan kepercayaannya, melainkan digunakan untuk melindungi ajaran agama yang sifatnya dinamis dan subjektif sehingga pada penerapan justru menyerang minoritas agama tertentu.

7. Pasal 414, Pasal 415, Pasal 416 tentang alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan

Pasal ini mengatur tentang penjualan atau tawaran menggunakan alat kontrasepsi, dan sosialiasi pengguguran kandungan.

RKUHP memberikan penjelasan dan pengecualian terhadap keberlakuan pasal ini, yaitu hanya untuk petugas yang berwenang termasuk relawan kompeten yang ditugaskan oleh pejabat berwenang. Namun, beleid ini tak memuat penjelasan mengenai siapa pejabat berwenang tersebut.

“Padahal, berdasarkan UU Kesehatan, PP Kesehatan Reproduksi, dan UU PKPS, pemerintah, pemda dan masyarakat bertanggung jawab atas pemberian informasi dan pelaksanaan edukasi mengenai kesehatan reproduksi bagi masyarakat, khususnya generasi muda,” kata Aliansi.

“Keberadaan pasal ini perlu ditinjau ulang mengingat ketentuan tersebut justru menegasikan program pembangunan pemerintah, dalam berbagai program di bidang kesehatan reproduksi serta pengendalian penularan HIV/AIDS,” sambungnya.

Baca Juga: RKUHP: Berisik Ganggu Tetangga pada Malam Hari bisa Didenda Rp10 Juta

8. Pasal 417 tentang zina dan Pasal 418 terkait kohabitasi

Aliansi menilai, keberadaan pasal ini tidak memberikan penjelasan tentang suami-istri. Aturan ini tidak memberikan standar tentang batas-batas perbuatan sebagai suami istri, karena yang diatur justru ancaman pidana lebih ringan dari perzinaan.

Makna perzinaan dalam RKUHP dirumuskan sebagai delik aduan, dan pengaduan dibatasi hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak.

Dalam hal ini, orang tua sebagai salah satu pihak yang bisa mengadukan perzinaan berpotensi menimbulkan masalah serius, karena mereka cenderung akan memaksa dilakukannya perkawinan.

9. Pasal 218 tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden

Draft final KUHP masih memuat pasal penghinaan pada presiden dan wakil presiden.

Padalah sebelumnya, MK melalui putusan Nomor 013-022 PII-IV/2006 menyatakan penghinaan terhadap presiden dalam KUHP dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

“Dari pendapat MK di atas terlihat bahwa pemberlakuan kembali pasal-pasal penghinaan presiden/wakil presiden di RKUHP mengisyaratkan kedudukan hukum yang berbeda antara presiden/wapres. Hal ini justru tidak sejalan dengan iklim demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi Indonesia,” tuturnya.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya