Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Kasus kekerasan seksual beberapa waktu terakhir marak dibagikan pengguna media sosial. Lewat fenomena spill the tea atau mengungkapkan fakta, terkadang kasus kekerasan seksual menjadi viral dan bisa membuat perhatian masyarakat menuju pada korban atau pelaku.

Pendiri organisasi perEMPUan, Rika Rosvianti mengungkapkan, setidaknya ada beberapa alasan seseorang atau teman korban mau membagikan kisah kekerasan seksual lewat sosial media.

"Lima hal itu yang gue amat, yang membuat orang spill the tea, entah itu dia ada kepentingan tertentu, entah karena dia gak tahu, atau melihat preseden yang terjadi dalam pengungkapan dan penanganan kasus," kata dia dalam diskusi "Fenomena Spill The Tea Kasus Kekerasan Seksual" di akun Instagram @awaskbgo, dikutip Selasa (15/2/2022).

1. Lima alasan kenapa kasus kekerasan seksual dibagikan di media sosial

Perwakilan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) sekaligus anggota Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (KOMPAKS), Neqy dalam acara Ngobrol Seru: Waspada Pelecehan Seksual di Transportasi Umum!", Rabu (10/6/2021). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Perempuan yang akrab disapa Neqy itu menjabarkan lima alasan yang membuat orang membagikan kasus kekerasan seksual. Pertama adalah seseorang tidak tahu dampak apa dari membagikan kasus kekerasan seksual yang dialami.

Korban atau kerabat korban yang membagikan kasus mereka, menurut Neqy , hanya ingin mencoba mencari bantuan dengan harapan semakin banyak yang memperhatikan kasus ini. Padahal ada risiko yang menunggu, seperti jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), digeruduk, diteror, hingga bisa membuat putus sekolah pada korban dan lainnya.

Kedua, ada indikasi hero compleks atau savior syndrom, di mana seseorang yang tahu kasus kekerasan seksual, ingin jadi yang paling pertama membagikan isu ini. Dia merasa paling cepat dan bisa jadi kiblat warganet untuk kasus terkait.

Ketiga, teman korban yang membagikan kasus kekerasan seksual korban sangat polos atau hanya karena ingin membantu dengan niat baik, namun kadang caranya malah tidak tepat.

Keempat, fenomena spill the tea kasus kekerasan seksual di media sosial ini, kata Neqy, juga terjadi karena banyak yang beranggapan kasus viral bakal cepat ditangani aparat. Hal ini jadi motivasi dan orang-orang berpikir ini adalah preseden, jika kasus mau diproses maka harus viral.

Terakhir, spill the tea juga terjadi karena ada pembebanan dari warganet ke korban, supaya kronologi kasus bisa diceritakan secara detail, karena jika tak dijelaskan maka dianggap bohong, penjahat sosial, atau bahkan berhalusinasi.

2. Pengungkapan di media sosial kadang membuat bola liar di kalangan warganet

Ilustrasi Media Sosial. (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara, founder Dear Catcallers Indonesia (@dearcatcallers.id) Monde, mengatakan istilah spill the tea ini disematkan pada seseorang ketika membeberkan kasus kekerasan seksual yang dialami diri sendiri atau orang lain. 

"Contohnya membeberkan kasusnya, kejadiannya, aku dapat kekerasan seksual pemerkosaan let's say juga ada yang dia lebih menyebutkan pelakunya siapa, dia menyebutkan nama, kalau gak dia menyebutkan identitas yang disematkan, jabatan," ujar dia.

Spill the tea, kata Monde, tidak hanya mengungkap data pribadi pelaku, tapi juga pengungkapan kronologi secara detail. Sayangnya, kultur internet yang tidak bisa diprediksi saat ini, justru bisa berdampak negatif bagi orang-orang yang membagikan masalah kekerasan seksualnya di media sosial.

"Netizen kadang dari satu informasi kadang jadi bola liar," kata dia.

Monde menjelaskan, biasanya mengungkap kasus kekerasan seksual dilakukan secara anonim atau menggunakan akun alter. Membeberkan masalah di media sosial juga jadi indikasi seseorang sudah buntu.

Selain itu, pembeberan kronologi kasus kekerasan seksual terjadi karena ada budaya yang meragukan cerita korban, atau ada tekanan ketika tidak ada info lengkap pembaca menjadi tidak puas.

3. Mencari pendamping yang tepat untuk kasus kekerasan seksual

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Pada kesempatan yang sama, Co-Founder Samahita Bandung, Yona, mengatakan spill the tea biasanya dilakukan secara natural oleh korban maupun support systemnya yang bisa jadi karena panik. Sehingga akhirnya terlalu eksplisit, apalagi saat belum ada bantuan, jadi tak tahu batasan untuk membagikan informasi.

"Ketika dia share, kontennya jadi sangat eksplisit, kemudian dia dapat pendamping, ujung-ujungnya jadi menyesal, dan orang-orang bisa jadi indentifikasi dia siapa," kata dia.

Yona mengatakan korban tidak perlu memberitahukan kepada orang banyak dan tak berkewajiban menjelaskan ke orang banyak. Sebaiknya, kasus seperti ini diceritakan pada pihak yang paham isu kekerasan seksual dan segera mencari pendamping.

Membagikan informasi di media sosial, kata dia, berisiko menyebabkan efek domino. Selain itu, korban tak akan tahu bagaimana respons warganet pada kisahnya, apakah jadi empati, simpati, atau malah hanya sekadar untuk kebutuhan gosip aja.

Editorial Team