Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Dibyo Widodo lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 26 Mei 1946 . Ia adalah Kapolri ke-13 yang mempertegas peran kepolisian sebagai pengayom masyarakat. Hal ini sesuai dengan latar belakang tugas yang diemban oleh lulusan PTIK tahun 1975, yang tidak bergeser dari berbagai permasalahan yang selalu muncul di masyarakat.
Selama periode kepemimpinannya yang ditandai dengan adanya peristiwa penting bagi bangsa dan negara yakni Pemilihan Umum 1997, menunjukkan bahwa dia memang dituntut oleh tugas yang memerlukan disiplin tinggi maupun kerja sama tim yang solid.
Garis kebijakan yang dikeluarkan sejak dilantik pada 18 Maret 1996 lalu tertuang dalam butir-butir kebijakan, yaitu: Sosialisasi Gerakan Displin National, Pembentukan/Kerja Sama Tim, Konsistensi Pendekatan Hukum, Pelayanan Terbaik dan Amankan dan Sukseskan Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998, yang diarahkan untuk mewujudkan penampilan individu, penampilan satuan dan penampilan operasional.
Pengalaman lapangan yang luas, termasuk di daerah yang potensi konfliknya cukup tinggi semacam Surabaya dan Medan, cukup untuk memberi bekal bagi seorang pemimpin dengan beban yang tidak kecil.
Dibyo Widodo memulai kariernya di kepolisian sejak 1 Desember 1968 dengan pangkat Inspektur Polisi tingkat II. Mengawali tugas sebagai Perwira Operasi di Komres 1012 Surabaya.
Pada masa bertugas ini juga, Dibyo mempersunting Dewi Poernomo Aryanti sebagai istrinya. Pasangan ini dikarunia tiga orang anak, satu di antaranya perempuan.
Sebagai sosok yang menyusuri karier mulai dari bawah, putra pertama pasangan Drs Soekardi dan Toerniati Sukardi ini pernah menduduki 32 jabatan sebelum sampai puncak kariernya sebagai Kapolri. Hal ini dilalui dengan ketekunan menapaki berbagai jenjang pendidikan maupun kursus dan penataran.
Pendidikan umumnya sendiri adalah sampai tingkat SMA pada 1965 yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan di Akademi Angkatan Kepolisian (1968), Bakaloreat PTIK (1972), Doktoral PTIK (1975), Sesko ABRI Bagpol (1981), Lemhannas (1993).
Penyandang brevet Para Brimob Polri, Selam Polri, Selam Angkatan Laut, dan Pandu Udara dari Kopassus Angkatan Darat ini, punya komitmen untuk meningkatkan operasional Polisi dalam memberantas kejahatan dengan tetap memperhatikan garis-garis kebijakan pendahulunya.
Catatan prestasi operasionalnya cukup menonjol ketika bertugas di Operasi Seroja Timor Timur, namun sebenarnya lonjakan kariernya tercatat setelah menyelesaikan tugas sebagai Kapolres Deli Serdang tahun 1986, dan kemudian diangkat sebagai ADC Presiden RI sampai 1992. Berturut-turut setelah itu ia menjabat sebagai Irpolda Sumut, Wakapolda Nusa Tenggara, Wakapolda Metro Jaya, Kapolda Metro Jaya kemudian Kapolri.
Semasa menjabat Kapolda Metro Jaya banyak langkah taktis dilakukan maupun tindakan tegas yang seringkali membuat berdebar anak buahnya, karena sikapnya yang menindak segala bentuk penyimpangan di lingkungan Polri maupun dalam menghadapi gangguan kamtibmas di Ibu Kota. Dia tak segan-segan bertindak keras tanpa pandang bulu.
Untuk melayani dengan cepat segala keluhan masyarakat, muncullah gagasan pembentukan satuan Unit Reaksi Cepat atau lebih dikenal dengan singkatan URC, di mana setiap ada laporan dari masyarakat, dalam tempo singkat satuan Polri segera tiba di tempat kejadian.
Satuan khusus ini didukung oleh kendaraan roda empat dan roda dua dengan anggota yang terlatih dan handal, sehingga mampu menjadi tulang punggung kesatuan Polri dalam mengantisipasi setiap gangguan kamtibmas agar masyarakat benar-benar merasa aman dan tenteram.
Kehadiran URC di TKP pertama-tama adalah pengamanan TKP dengan memberikan pita kuning bertanda "DILARANG MELINTAS GARIS POLISI" sehingga semua data, baik berupa sidik jari maupun bukti-bukti yang lain belum terjamah oleh orang lain. Hal ini memudahkan petugas Laboratorium Forensik dalam mengidentifikasi setiap bukti yang ada, dan dengan cepat pula dianalisis untuk mengungkap kejadian guna pengusutan selanjutnya.
Pada masa kepemimpinannya, Polda Metro Jaya benar-benar dibuat tidak pernah tidur dan seolah-olah setiap jengkal tanah di wilayah Jabotabek ini selalu terdengar langkah anggota Polri berjalan seirama detak jarum jam.
Sebelum menduduki tampuk pimpinan tertinggi Polri, jauh-jauh hari masyarakat telah meramalkan bahwa nanti Jenderal ini pasti segera berpindah kantor dari Semanggi ke Trunojoyo.
Namun, semua orang juga tak mengira akan secepat itu penyerahan tongkat komando dari Jenderal Polisi Drs. Banurusman kepada Letjen.Pol. Drs. Dibyo Widodo, sehingga masyarakat pun kembali dibuat seolah seperti kejadian yang tiba-tiba. Dengan pengalaman yang lengkap inilah Jenderal Dibyo Widodo mampu melangkah ke jenjang tertinggi di lingkungan Polri.
Dibyo Widodo meninggal dunia akibat serangan jantung, setelah sebelumnya mengalami koma selama 2 hari. Ia meninggal di Singapura, 15 Maret 2012 pada usia 65 tahun.