Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi bendera partai politik (ANTARA FOTO/Ampelsa)
Ilustrasi bendera partai politik (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Jakarta, IDN Times - Istilah "koalisi" dan "oposisi" menjadi perbincangan hangat di masyarakat, pasca Pemilu 2019. Utamanya, setelah Joko “Jokowi” widodo dan Ma’ruf Amin dilantik menjadi presiden dan wakil presiden 2019-2024.

Sejumlah partai politik yang mendukung pemerintah menyatakan siap menjadi partai koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dan menjalankan semua visi misinya.

Seperti Partai Gerindra yang menjelang pengumuman kabinet akhirnya merapat ke koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Padahal, partai yang dipimpin Prabowo Subianto ini sempat menjadi rival politik Jokowi-Ma'ruf pada Pilpres 2019.

Sementara, di kubu lain menegaskan siap menjadi partai oposisi yang siap mengawal kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat luas. Seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Lebih-lebih, saat Partai Nasdem mendadak 'dekat' dengan PKS, setelah Gerindra masuk ke kabinet. Nasdem adalah partai yang sejak awal pemilu 2019 mendukung Jokowi. Partai ini dianggap hengkang dari koalisi Jokowi, meski Ketua Umum Nasdem Surya Paloh membantah isu miring tersebut.

Nah, apa sih sebenarnya makna istilah "koalisi" dan "oposisi" tersebut?

1. Makna "koalisi" dan "oposisi" partai politik

Ketua Umum Nasional Demokrat (kiri) ketika bertemu Presiden PKS, Shohibul Iman (kanan) di markas DPP PKS pada 2019. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Seperti dikutip dari jurnal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berjudul "Oposisi dalam Kehidupan Demokrasi", peneliti senior LIPI Firman Noor menjelaskan oposisi merupakan bagian penting dari demokrasi.

Oposisi kerap diartikan sebagai mereka yang berseberangan dengan pemerintah. Namun oposisi sebetulnya memiliki fungsi untuk melakukan kritik dan kontrol atas sikap, pandangan, atau kebijakan pemerintah berdasarkan perspektif ideologis.

Sementara, Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Ujang Komaruddin mendeskripsikan, istilah koalisi berarti partai atau gabungan partai yang dibentuk dalam periode tertentu untuk tujuan politik bersama.

2. Negara penganut sistem pemerintahan presidensial tidak mengenal istilah koalisi dan oposisi

IDN Times/Indiana Malia

Ujang mengatakan, sebagian besar masyarakat banyak yang salah-kaprah memaknai kedua istilah koalisi dan oposisi. Menurut dia, kedua istilah tersebut sejatinya tidak dikenal di negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia.

“Istilah koalisi dan oposisi itu ada di sistem pemerintahan parlementer. Misal yang punya perdana menteri seperti Singapura, Malaysia, lalu di Australia. Nah, kita ini kan presidensial, kita tidak mengenal istilah itu secara teori,” jelas Ujang kepada IDN Times, Jakarta, Selasa (12/11).

3. Istilah koalisi dan oposisi tidak ada di dalam undang-undang

(Ilustrasi) ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Dalam undang-undang, menurut Ujang, juga tidak tercantum istilah koalisi dan oposisi. Karena itu, istilah mitra loyal pemerintah dan partai non pemerintahan adalah yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia.

“Jadi dalam sistem ketatanegaraan kita, tidak ada istilah itu. Dalam undang-undang juga tidak ada. Itu istilah umum yang digunakan oleh para politisi saja untuk membedakan mana mitra pemerintah dan di luar pemerintah,” kata dia.

4. Di negara dengan sistem pemerintahan parlementer, partai koalisi dan oposisi otomatis memisahkan diri

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Ujang menjelaskan, di negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, partai koalisi dan oposisi akan berjalan dengan sendirinya, ketika telah diumumkan siapa partai pemenang pemilu. Mereka akan konsisten mempertahankan gagasannya sejak awal deklarasi.

“Jadi partai pemenang itu otomatis jadi koalisi pemerintah atau the ruling party, yang kalah langsung otomatis jadi oposisi dan duduknya pun berhadap-hadapan (di parleman),” kata dia.

Editorial Team