Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa saat melantik pejabat pemprov. Dok. Humas Pemprov Jatim
Sementara Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,384 triliun untuk penanganan pandemik virus corona di daerahnya. Anggaran tersebut dialokasikan untuk penanganan COVID-19, baik sektor promotif, preventif, kuratif, tracing (penelusuran), hingga untuk menanggulangi dampak sosial ekonomi.
"Dari refocusing kegiatan dan realokasi di Pemprov (Jatim) saat ini teralokasi Rp2,384 triliun untuk seluruh hal terkait promotif, preventif, kuratif, tracing, dan dampak sosial ekonomi di Jatim," kata Khofifah di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jumat (3/4).
Angka tersebut jauh lebih besar dari anggaran yang semula disiapkan Pemprov Jatimyakni Rp260 miliar. Anggaran tersebut, kata Khofifah, setara dengan 6,79 persen APDB Jatim 2020 yang sebesar Rp35,1 triliun.
"Ini setara 6,79 persen dari APBD, atau (kalau) saya bulatkan 6,8 persen dari APBD," ujar Khofifah.
Untuk penanganan dampak ekonomi sosial anggaran tersebut, kata Khofifah, dikucurkan dengan mekanisme pendistribusian berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
DTKS juga lah yang selama ini dijadikan rujukan pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) maupun Program Keluarga Harapan (PKH).
Berdasarkan data itu, kata Khofifah, di pedesaan, ada sekitar 4,73 juta keluarga, di mana 3,73 juta keluarga sudah tercatat dalam DTKS. Sementara 1 juta keluarga belum masuk DTKS.
"Berarti ada satu juta keluarga di luar dari DTKS," kata dia.
Sedangkan, di perkotaan (non agro) ada sekitar 3,8 juta keluarga, di mana 1 juta keluarga sudah masuk DTKS dan 2,8 juta keluarga belum masuk DTKS.
"Dari jumlah itu, yang sudah ter-cover ada 1 juta dan yang di luar DTKS ada 2,8 juta (keluarga)," kata Khofifah.
Jumlah tersebut yang tak terdata itu, adalah masyarakat pedesaan yang berprofesi sebagai nelayan dan mengalami kesulitan saat menjual hasil panennya selama pandemik.
"Hari ini, kita menemukan fenomena baru, mereka yang ada di kepulauan terkonfirmasi tidak bisa menjual ikannya. Sebagian mereka tak masuk pada DTKS," kata dia.
Selain itu, ada juga masyarakat perkotaan yang terdata pada DTKS, yang mayoritas bekerja di sektor informal di perkotaan.
"Di kota ini ada driver ojol yang tidak masuk DTKS, atau mereka yang mudik, karena semula perantau yang mendapat income harian dari jualan UMKM, mereka tidak masuk dalam DTKS," ujar Khofifah.