Gibran Rakabuming Raka saat debat cawapres keempat di JCC pada Minggu (21/1/2024)., (IDN Times/Tino Satrio)
Kiritikan juga datang dari Greenpeace Indonesia. Mereka menilai ketiga cawapres tak membahas akar masalah krisis iklim. Ketua Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, mengatakan masing-masing cawapres gagal mengidentifikasi masalah utama krisis iklim, yakni alih fungsi lahan, hingga masifnya penggunaan batu bara.
“Dari debat semalam, kita menyaksikan bahwa ekonomi ekstraktif masih menjadi watak dalam visi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden," ujar Leonard dilansir di laman resmi Greenpeace Indonesia, Senin, 22 Januari 2024.
Menurut Leonard, cawapres nomor urut dua Gibran menggaungkan ekonomi ekstraktif lewat isu nikel dan hilirisasi, sedangkan cawapres nomor urut satu Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dan cawapres nomor urut tiga Mahfud MD, juga tak tegas menyatakan komitmen mereka untuk keluar dari pola-pola yang sama.
Leonard mengatakan, watak ekonomi ekstraktif pemerintah selama ini banyak memicu masalah. Dia mencontohkan, masalah itu terkait ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah, hasilnya lahir konflik agraria. Konflik itu mulai dari merampas hak masyarakat adat, masyarakat lokal, hingga masyarakat pesisir.
Leonard menilai proyek strategis nasional (PSN) yang selama ini dibuat pemerintah juga memunculkan konflik agraria. Dia menyebut, berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria, ada 42 konflik agraria yang terjadi akibat PSN pada 2023. Konflik itu meliputi 516.409 hektare lahan dan memiliki dampak pada 85 ribu kepala keluarga.
Greenpeace juga menyoroti mengenai janji ketiga cawapres akan melindungi masyarakat adat. Menurutnya, hal itu sudah selalu ada saat musim kampanye. Bila sudah terpilih, tak ada efek apapun, hanya sekadar retorika. Menurut Greenpeace, tanpa mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan menghentikan PSN, janji melindungi masyarakat adat hanya omong kosong.
Ruang hidup masyarakat adat, juga menurut Greenpeace terus tergerus akibat pembukaan lahan dan deforestasi. Food estate, juga dianggap proyek pemerintah yang jelas secara kasat mata merusak utang. Greenpeace mencontohkan, kegagalan food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah tak bisa diselesaikan dengan melakukan penanaman kembali.
Greenpeace juga mengutip data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai kerusakan hutan. Berdasarkan data selama 2015-2022, angka deforestasi mencapai 3,1 juta hektare. Menurut Greenpeace, hutan Papua juga terancam rusak. Sejak 1992-2019, ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan di Papua.
"Perspektif para kandidat dalam isu lingkungan hidup dan sumber daya alam masih bias darat. Memang ada yang menyinggung tentang masyarakat pesisir dan nelayan, tapi mereka tidak menjabarkan bagaimana agenda mitigasi dan adaptasi iklim bersama warga yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil–yang makin terjepit dampak krisis iklim," kata Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid.
"Fakta lainnya, keanekaragaman hayati laut Indonesia juga terancam dengan praktik ekonomi ekstraktif dan tekanan pembangunan berbasis darat. Padahal Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi 30 persen kawasan dan keanekaragaman hayati laut kita pada 2030,” imbuhnya.