ilustrasi swab test (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Jadi memang, Presiden kasih saya tugas dua. Satu, yang lebih cepat pressing adalah melaksanakan program vaksinasi. Kedua, yang lebih susah dan jangka menengah adalah menyelesaikan pandemik ini.
Waktu saya masuk 23 Desember, saya lupa tanggal 24 atau 25 (Desember 2020), saya kumpulin itu Kawalcovid, Pandemitalks, organisasi-organisasi civil society untuk memberikan masukan. Di hari itu, saya tahu bakal ada lonjakan kasus aktif.
Jadi kita sudah tahu akan ada lonjakan seperti sekarang yang terjadi, itu di tanggal 24/25 Desember. Kenapa? Karena Pandemitalks, saya ingat, itu menunjukkan ada tren bahwa setiap ada liburan panjang, di mana kita lepas orang-orang jalan, itu naik 40 persen.
Masalahnya adalah beberapa kali liburan panjang, itu base-nya kita masih rendah. Nah kemarin, even sebelum liburan tanggal 23 Desember atau sebelum libur, itu base-nya sudah tinggi. Jadi kita tahu sekarang bakal meledak, bukan oh sekarang jadi meledak.
Kenapa masalahnya? Ya kita tahu setiap kali liburan panjang, orang dilepas bergerak, pasti akan kembali naik 30-40 persen. Buat gambaran teman-teman, di awal November, itu kasus aktif masih 50 ribu, sekarang mungkin sudah 145 ribu. Di mana masalahnya kalau kasus naik? Ya health care system kita. Kita butuh 30 persen bed, kalau 50 ribu kita butuh sekitar 150 ribu bed, kalau 140 ribu butuh sekitar 420 ribu bed. Naiknya hampir 100 persen lebih.
Nah kalau ditanya, Pak kenapa enggak beresin testing-tracing?
Karena unfortunately, sejak saya masuk, saat kita sibuk-sibuknya rollout vaccine, kita tahu akan ada musibah besar di minggu kedua, minggu ketiga. Jadi apa yang harus saya lakukan, saya beresin ini dulu, karena ini bicara mengenai nyawa manusia, dan itu kita tahu pasti akan datang, dan tak bisa dihindari. Kita lupa kemarin saat liburan jangka panjang, dan bener sekarang datang.
Nah 3T, kita lakukan sebenarnya. Kita belum sempat menyentuh 3T-nya, karena kita lagi membereskan, menambah bed rumah sakit secara tergesa-gesa, jadi sejak tanggal 25, 26 (Desember 2020) kita tambah tuh. At least, yang ada di bawah kendali saya, saya pegang rumah sakit-rumah sakit besar dengan 15 ribu kamar, saya tambah semua. Karena, rumah sakit-rumah sakit rata-rata cuma mengalokasikan 20 persen dari kamarnya untuk COVID, itu saya naikin 40 persen. Supaya bisa carry yang 40 persen tambahan ini.
Misalnya RSCM, cuma punya kamar 800, cuma 200 buat COVID, tambahi supaya ada kapasitas. RS Hasan Sadikin, begitu RS Sardjito, kita naikkin semua. Sebelum awal tahun baru, saya datang ke RSCM, saya datang ke RS Fatmawati, saya datang ke RSUD Pasar Minggu, sudah mulai penuh semua.
Masalahnya ternyata bukan hanya bed, tapi juga tenaga kesehatan. Karena banyak yang sudah kena dan letih. Jadi waktu itu kita keluarkan Kepmen, saya lupa tanggal berapa, mungkin dekat-dekat akhir tahun. Karena yang masalah lebih banyak itu di perawat, kekurangan perawat.
Kita punya 10 ribu perawat yang sudah lulus, tapi pending tidak bisa bekerja karena ada status sertifikasi STR, Sertifikasi Tanda Registrasi. Yang wewenangnya di Kemenkes, itu harus diperoleh dulu izin itu, sebelum mereka bisa praktik, nah itu yang saya cabut.
Jadi saya relaksasi, tanpa memiliki STR, perawat yang 10 ribu itu bisa langsung bekerja. Karena kita kekurangan perawat untuk mengejar naiknya kasus aktif di minggu kedua dan ketiga.
Kemudian kita juga kekurangan dokter ahli. Dokternya enggak kekurangan, tapi dokter spesialis kekurangan, terutama adalah dokter spesialis paru, dokter spesialis penyakit dalam, karena COVID ini banyak nyerang organ-organ dalam, dan dokter spesialis anastesi, karena untuk pasang ventilator butuh anastesi.
Banyak yang letih, banyak yang kena COVID, dan ada beberapa yang meninggal juga. Sampai kejadian kita bikin COVID board di setiap rumah sakit, di mana dokter-dokter ahli paru, yang mungkin tinggal satu atau dua bisa mensupervisi dokter umum untuk bekerja sesuai dengan direction dari spesialis paru. Nah, itu bekerjanya di belakang layar.
Kenapa? Karena itu untuk menghadapi, dan kita sudah antisipasi.
Jadi kalau saya ditanya, gimana nurunin kenaikan ini? Kenaikan ini merupakan akibat, jadi enggak bisa kita turunin, karena sudah dilepasin liburan kemarin, jadi harus kita hadapi lonjakan mungkin 40 persen kasus aktif minggu kedua sampai minggu keempat Januari ini.
Alhamdulillah, kita sudah berhasil mengantisipasi, ada antrean, tapi seenggaknya tidak sedrastis seperti yang dulu. Karena kita sudah mengantisipasi. Dan saya sudah keluarin surat, bukan hanya ke RS pemerintah, tapi ke RS swasta dan RS BUMN untuk menambah kamar juga. Bisa cek kemarin RS Siloam kemarin tambah kamar, RS Mitra Keluarga juga tambah kamar, saya baru kemarin kasih khusus RS Krida di DKI itu ada 200 kamar, dipercepat izinnya agar segera beroperasi supaya bisa menampung lonjakan yang terjadi.
Jadi itu enggak kelihatan, kerjaanya di belakang layar, tapi alhamdulillah bisa at least mengurangi pressure ke rumah sakit, mengurangi pressure tenaga kesehatan yang ada, dan mengurangi kematian masyarakat karena tidak tertampung di rumah sakit. Itu yang dilakukan dua minggu terkahir.
Kalau ditanya, itu ngeberesin kasus aktif? Tidak. Benar, yang harus dilakukan 3T-nya dan pembatasan pergerakan. Kenapa itu belum dilakukan, karena kita sibuk urusin ini dulu, karena urusannya nyawa. Sudah kadung, sudah masuk orang-orang yang pulang dari liburan. Saya sampaikan ke teman-teman, kita setiap hujan sibuk ngepel, tapi tidak pernah nambal atapnya. Nambal atapnya ya itu, 3T dan perubahan perilaku.
Sekarang apa yang dilakukan? Tapi itu tidak bisa dilakukan sekarang, kalau dilakukan sekarang dampaknya dua sampai tiga bulan yang akan datang. Yang sekarang tetap diberesin juga, karena sudah terjadi sebulan atau dua bulan lalu.
Di 3T saya lihat, testing ya, sudahlah kejar standarnya WHO yang satu per 1.000 per minggu, itu saja. Nah Indonesia 269 juta, jadi seminggunya 269 ribu, dibagi 7 jadi 40 ribu. Kalau kita bisa testing 40 ribu, asal benar, di Indonesia selesai. Kapasitas testing kita sudah 70 ribu sekarang, jadi harusnya sudah.
Masalahnya kenapa? Masalahnya dua, tidak merata. Jadi yang banyak itu di Jakarta, ada daerah-daerah yang belum satu per 1.000 per minggu. Harusnya di semua daerah merah, atau daerah kuning, itu testingnya harus satu per 1.000 per minggu. Kita lihatnya ini agregat nasional, enggak pernah lihat sampai ke kabupaten/kotamadya. Itu seharusnya yang dikejar oleh kabupaten/kodya.
Siapa aja kabupaten/kodya yang sudah sesuai aturan WHO, satu per 1.000 per minggu, mana yang belum. Jangan lihatnya nasional, nasional 40 ribu sudah cukup.
Tapi begitu kita lihat, Jakarta misalnya, satu per 400 atau satu per 300, jauh di atas WHO. Tapi Surabaya satu per 1.000, begitu diagregatkan, statistik-kan, itu mohon maaf sebagai alumni statistik, the biggest scientific liar. Harus hati-hati dengan statistik, karena semua jadi agregatkan. Kita kehilangan detail.
Yang kedua, testingnya itu yang terjadi banyak testing mandiri, bukan testing epidemiologi. Jadi strategi testingnya harus dibenarin. Bukan kayak Budi Sadikin ketemu Presiden, atau rapat terbatas seminggu empat kali diswab, empat kali dihitung. Itu harusnya enggak dihitung. Harusnya yang dihitung kalau dia suspect, begitu dia positif, dia trace 30 kontak ke belakangnya, kontak eratnya dites. Testing yang benar itu, bukan testing karena ingin ketemu Presiden, atau testing mau jalan-jalan ke Bali. Itu wrong testing strategy.
Testing yang benar untuk identifikasi yang bersangkutan kena enggak, supaya diisolasi. Nah itu testing strategy harus diberesin. Itu dari testing.