Tak dapat dipungkiri, saat ini masyarakat Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi. Berdasarkan Pemantauan Status Gizi Kemenkes Tahun 2017, status gizi Indonesia tercatat kekurangan gizi 17,8 persen; pertumbuhan stunting/kerdil 29,6 persen; dan kurus 9,5 persen. Angka stunting ini menunjukkan bahwa 1 dari 3 anak tumbuh kerdil dan ini berpotensi menurunkan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat.
Oleh karena itu, ikan menjadi solusi peningkatan gizi masyarakat utamanya pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK) dan perkembangan otak anak-anak di Bawah Dua Tahun (Baduta).
Ikan menjadi pilihan karena beberapa keunggulannya dibandingkan sumber protein lain di antaranya ikan halal dan dapat diterima semua kalangan; memiliki kandungan omega 3 tinggi yang baik untuk perkembangan mata, otak, dan jaringan syaraf (kandungan omega tertinggi: bandeng 27 mg/100 gram); komposisi asam amino lengkap, mudah dicerna dan diserap tubuh; kandungan zat besi tinggi untuk mencegah anemia (kandungan zat besi tertinggi: belut 2,0 mg/100 gram); bentuk, jenis, warna, rasa, dan ukuran yang beragam sehingga dapat diolah menjadi berbagai macam produk; serta terjangkau bagi segala kelas ekonomi.
Upaya pemerintah untuk terus menggenjot angka konsumsi ikan sudah menunjukkan hasil. Konsumsi ikan nasional tahun 2014 yang sebesar 37,89 kg/kapita, naik menjadi 47,34 kg/kapita di tahun 2017, dan ditargetkan menyentuh angka 50,65 kg/kapita di tahun 2018 ini. Dengan angka ini, maka kenaikan angka konsumsi ikan nasional rata-rata per tahun dari 2014 – 2018 adalah sebesar 7,35 persen.