Ilustrasi hukum (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Harris menjelaskan, Pasal 2 mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Masalah yang timbul adalah menggeser asas praduga tak bersalah. Resikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap “tidak sah”.
Selanjutnya, Pasal 3 menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan. Ini akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana.
"Resikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili,” kata Wakil Ketua Umum DPN PERADI itu.
Berikutnya Pasal 5 ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap tidak seimbang dengan penghasilan sah. Namun, persoalannya frasa kalimat “tidak seimbang” sangat subjektif. Resikonya, seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap pun bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.
Dia juga mencermati Pasal 6 ayat (1). Aset bernilai minimal Rp100 juta bisa dirampas. Persoalannya ambang batas nominal bisa salah sasaran. Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp100 juta.
Terakhir, ia turut menoroti Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Resikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.
“Yang juga penting untuk dicermati adalah prosedur perampasan (blokir, sita, pembuktian), dimana didalilkan setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan bahwa harta itu sah (reverse burden of proof). Ini kan membalik beban pembuktian ke rakyat. Resikonya rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal,” kata dia.