Suasana pemeran foto dan diskusi yang digelar AJI Kota Banda Aceh dan PFI Aceh (IDN Times/Istimewa)
Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber yang juga jurnalis senior di Aceh, di antaranya Munir Noer (Ketua Pengda IJTI Aceh), Adi Warsidi (CEO Acehkini) dan Hotli Simanjuntak (fotografer EPA).
Saat sesi diskusi, masing-masing pemateri saling menyampaikan pengalamannya saat meliput suasana konflik belasan tahun silam. Munir Noer mengungkapkan, salah satu bentuk tindakan negatif yang dialami jurnalis saat konflik adalah ancaman terhadap keluarga wartawan.
“Ketika berita naik, keluarga kita akan menjadi ancaman, ini sebuah permasalahan untuk wartawan lokal saat konflik,” ujar Munir, mantan jurnalis RCTI itu.
CEO Acehkini, Adi Warsidi menyampaikan, saat awal darurat militer, pemerintah membuat pembatasan-pembatasan terhadap wartawan di Aceh, sehingga pemberitaannya lebih dominan tentang TNI.
“Awal darurat militer berita tentang GAM banyak tidak termuat. Makanya banyak mobil-mobil yang membawa koran terbakar di perjalananan,” kata Adi Warsidi.
Berbeda lagi yang dialami Hotli Simanjuntak. Sebagai wartawan dari media internasional, ruang geraknya saat konflik lebih luas daripada para jurnalis lokal. Apalagi, kala itu ia berasal dari luar Aceh.
“Saya bisa kemana-mana, kalau mau dicari keluarga ataupun kantor media lokasinya di luar Aceh, jadi sedikit bebas, tetapi tetap ada ancaman dan kendala-kendala selama bertugas,” kata Hotli Simanjuntak.