Jakarta, IDN Times - Dalam waktu dekat, paling lambat pertengahan Desember 2017, Partai Golkar berencana mengadakan Muyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Founder Lembaga Survei Kedai Kopi Hendri Satrio mempertanyakan tujuan Munaslub Golkar tersebut diselenggarakan.
"Perdebatan ketua umum hampir selesai. Lebih menarik bicara siapa Sekjen dan siapa Ketua DPR. Hanya saja, pertanyaannya adalah ini munaslub dilakukan hanya untuk selamatkan Golkar atau lengserkan Novanto?" tanya Satrio di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (2/12).
Polemik yang hadir berikutnya, kata Satrio, adalah dalam bentuk seperti apa Golkar harus diselamatkan, jika memang tujuan Munaslub bukan untuk melengserkan pria yang lebih akrab disapa Setnov itu.
"Kalau selamatkan Golkar, perdebatannya bakal mengerucut kepada (selamatkan) sesuai Munas Bali atau restu Jokowi. Kalau ikut Munas Bali, enggak mungkin Airlangga (calon Ketua Umum Golkar), karena dia peringkat lima di sana. Kalau restu Jokowi, berarti memang dia," tegas dia.
Perkara lain yang Satrio kritisi terkait mekanisme pergantian pemimpin di Golkar, adalah jangan sampai munaslub Desember nanti menjadi munas.
"Munaslub ini jangan sampai dibelokkan jadi munas. Harus ditekankan kepada peserta. Munaslub hanya sampai 2019, kalau munas bakal bicara lima tahun ke depan. Jadi kalau nanti Airlangga terpilih di munaslub, dia harus nyalon lagi di munas. Nah, kalau munas 2019 nanti, Setnov bisa maju lagi untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum," Satrio menandaskan.
Menanggapi pertanyaan Satrio, politikus senior Golkar Happy Bone Zulkarnain mengatakan, Golkar harus menggelar munaslub karena partai ini berpengaruh terhadap situasi nasional. Karena itu, harus ada perubahan untuk memperbaiki partai.
"Saya suka pertanyaannya Pak Satrio ini. Saya katakan kita mau membawa perubahan di munaslub ini. Karena Partai Golkar ini determinant factor. Kalau misal partai ini gaduh, bakal mempengaruhi situasi nasional. Karena itulah harus segera diperbaiki," kata Bone.
Menurut Bone, momentum munaslub nanti harus menjadi reformasi bagi Golkar. "Kita ingin jadi partai reformis. Bagi saya (Munaslub) ini adalah progress yang cukup bagus. Mengingat Januari sudah tahun politik dan yang hanya bisa mengesahkan segala keputusan adalah pemimpin partai," pangkas Bone.
Strategi Fredrich Yunadi
Pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi beberapa pekan terakhir menjadi sorotan publik. Bukan karena tugasnya sebagai pengacara dalam menangani kasus korupsi e-KTP yang menjerat kliennya, melainkan karena reaksinya saat memberikan keterangan kepada awak media kerap menjadi bahan guyonan warganet. Dia juga kerap memamerkan kemewahannya di media sosial.
Menanggapi fenomena tersebut, Hendri Satrio yang juga pemerhati komunikasi politik dari Universitas Paramadina berasumsi, kalau itu semua adalah strateginya untuk melindungi kliennya.
"Kalau seorang pengacara, lebih baik dirinya diserang daripada kliennya. Karena dia akan punya 1001 cara untuk menghadapi itu, apalagi dia ahli hukum," ujar dia.
Kendati, Satrio menganggap segala ucapan dan reaksi Fredrich adalah hal yang wajar pada saat dirinya sedang membela klien atas kasus korupsi senilai Rp 5,9 triliun itu.
"Menurut saya gayanya Fredrich itu sah-sah saja. Boleh melakukan itu, toh sampai hari ini dia aman-aman saja. Walaupun video yang dia suka kemewahan sudah beredar. Menurut saya itu strategi yang bisa dan boleh saja dilakukan pengacara untuk melindungi kliennya," tegas dia.
Satrio juga enggan berasumsi jika perilaku Fredrich adalah dibuat-buat atau tidak. "Saya enggak kenal Fredrich sebelumnya. Yang jelas, begitu dia muncul di permukaan, ya begitu itu Fredrich Yunadi," Satrio menandaskan.
Kali pertama Fredrich Yunadi menjadi 'seleb dadakan' setelah dia memberikan keterangan bahwa Setnov mendapatkan luka sebesar bakpao setelah kecelakaan.
"Perlu MRI, luka di bagian sini (pelipis), benjol besar segede bakpao," kata Fredrich, Kamis 16 November silam.
Akhir-akhir ini, pernyataan Fredrich tentang kehidupannya yang mewah saat diwawancarai Najwa Shihab juga mengundang perhatian publik.
"Saya suka mewah. Saya kalau ke luar negeri, sekali pergi itu minimum saya spend Rp 3 miliar, Rp 5 miliar. Sekarang tas Hermes yang harganya Rp 1 miliar juga saya beli," beber Fredrich pada wawancara eksklusif itu.