Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • MK menolak permohonan uji kewenangan diskresi aparat kepolisian

  • Pertimbangan hukum MK menegaskan norma Pasal 18 ayat (1) UU Polri tidak berdiri sendiri, tetapi telah dibatasi dan dijelaskan secara rinci dalam Pasal 18 ayat (2) serta dalam Penjelasan Pasal tersebut.

  • Dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum, frasa "bertindak menurut penilaiannya sendiri" mengandung makna kewenangan diskresional bagi aparat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak, dengan dasar pertimbangan keadaan yang sangat perlu demi menjaga keamanan dan ketertiban umum.

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, menolak permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Sidang pengucapan Putusan Nomor 84/PUU-XXIII/2025 ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK, pada Kamis (3/7/2025).

Permohonan para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 18 ayat (1) beserta Penjelasannya dalam UU Polri. Pasal tersebut memuat ketentuan yang memberikan kewenangan kepada pejabat Polri untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri demi kepentingan umum.

Para Pemohon menilai frasa "kepentingan umum" dan "penilaiannya sendiri" bersifat multitafsir, tidak memiliki batasan yang jelas, dan membuka peluang penyalahgunaan wewenang oleh aparat kepolisian, sehingga dinilai bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

1. Pertimbangan hukum MK

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi, M Guntur Hamzah, MK menyatakan penggunaan frasa-frasa tersebut merupakan bentuk diskresi kepolisian yang dibutuhkan dalam rangka menjalankan tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. MK menegaskan, norma Pasal 18 ayat (1) UU Polri tidak berdiri sendiri, tetapi telah dibatasi dan dijelaskan secara rinci dalam Pasal 18 ayat (2) serta dalam Penjelasan Pasal tersebut. Ditegaskan, tindakan diskresi hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat mendesak, dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

"Ketentuan ini telah memberikan rambu-rambu yang tegas sehingga tindakan aparat kepolisian tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang," ujar Guntur.

2. Dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Lebih lanjut, Mahkamah berpandangan, frasa "bertindak menurut penilaiannya sendiri" mengandung makna kewenangan diskresional bagi aparat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak, dengan dasar pertimbangan keadaan yang sangat perlu demi menjaga keamanan dan ketertiban umum. Hal ini juga tidak terlepas dari esensi yang telah dipertimbangkan dalam Putusan MK Nomor 60/PUU-XIX/2021 terkait Pasal 16 ayat (2) UU Polri.

Atas dasar itu, Mahkamah menyatakan, dalil para Pemohon yang menyatakan frasa "kepentingan umum" dan "penilaiannya sendiri" dalam Pasal 18 ayat (1) UU Polri bertentangan dengan prinsip kepastian hukum adalah tidak beralasan menurut hukum. Dengan demikian, permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya.

3. Pemohon soroti potensi penyalahgunaan wewenang oknum kepolisian

Ilustrasi polisi melakukan penanganan massa unjuk rasa. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sebelumnya, dalam persidangan pendahuluan di MK pada Senin (02/06/2025), Syamsul Jahidin (Pemohon I) yang berprofesi sebagai advokat menjelaskan, ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Polri beserta penjelasannya berpotensi merugikan hak konstitusionalnya. Menurutnya, frasa “bertindak menurut penilaiannya sendiri” membuka ruang penyalahgunaan wewenang oleh oknum kepolisian dengan dalih bertindak demi kepentingan umum, padahal dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan politik tertentu.

Lebih lanjut, Pemohon menilai tidak adanya kejelasan definisi “kepentingan umum” dalam pasal tersebut membuka celah bagi penafsiran subjektif. “Frasa ini seharusnya merupakan konsep hukum yang memiliki batasan dan diawasi oleh norma objektif, bukan diserahkan secara penuh kepada aparat,” ujar Syamsul.

Para Pemohon juga menyoroti lemahnya mekanisme kontrol atas pelaksanaan pasal tersebut. Meskipun ada pengawasan internal seperti Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) maupun pengawasan eksternal oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dalam praktiknya aparat tetap dapat menggunakan Pasal 18 ayat (1) sebagai tameng untuk membenarkan tindakan yang berlebihan atau melampaui wewenang.

Menurut para Pemohon, kondisi tersebut menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan yang seharusnya dilindungi oleh negara. Bahkan, dalam pengalaman pribadi Syamsul di wilayah Kalimantan Barat, ia mengaku mengalami hambatan dalam memperoleh informasi dan kepastian hukum dari institusi kepolisian, khususnya dari Bidang Propam Polda Kalbar.

Oleh karena itu, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 18 ayat (1) UU Polri beserta penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Editorial Team

EditorSunariyah