Ilustrasi polisi melakukan penanganan massa unjuk rasa. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Sebelumnya, dalam persidangan pendahuluan di MK pada Senin (02/06/2025), Syamsul Jahidin (Pemohon I) yang berprofesi sebagai advokat menjelaskan, ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Polri beserta penjelasannya berpotensi merugikan hak konstitusionalnya. Menurutnya, frasa “bertindak menurut penilaiannya sendiri” membuka ruang penyalahgunaan wewenang oleh oknum kepolisian dengan dalih bertindak demi kepentingan umum, padahal dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan politik tertentu.
Lebih lanjut, Pemohon menilai tidak adanya kejelasan definisi “kepentingan umum” dalam pasal tersebut membuka celah bagi penafsiran subjektif. “Frasa ini seharusnya merupakan konsep hukum yang memiliki batasan dan diawasi oleh norma objektif, bukan diserahkan secara penuh kepada aparat,” ujar Syamsul.
Para Pemohon juga menyoroti lemahnya mekanisme kontrol atas pelaksanaan pasal tersebut. Meskipun ada pengawasan internal seperti Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) maupun pengawasan eksternal oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dalam praktiknya aparat tetap dapat menggunakan Pasal 18 ayat (1) sebagai tameng untuk membenarkan tindakan yang berlebihan atau melampaui wewenang.
Menurut para Pemohon, kondisi tersebut menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan yang seharusnya dilindungi oleh negara. Bahkan, dalam pengalaman pribadi Syamsul di wilayah Kalimantan Barat, ia mengaku mengalami hambatan dalam memperoleh informasi dan kepastian hukum dari institusi kepolisian, khususnya dari Bidang Propam Polda Kalbar.
Oleh karena itu, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 18 ayat (1) UU Polri beserta penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.