Pengacara Firdaus Oiwobo (kiri) dan Deolipa Yumara (kanan). (IDN Times/Irfan Fathurohman)
Dalam perkara yang teregister nomor 217/PUU-XXIII/2025 itu, Firdaus menguji Pasal 7 Ayat 3 dan Pasal 8 Ayat 2 UU Advokat.
Alasan Firdaus mengajukan permohonan adalah karena merasa dirugikan secara konstitusional akibat penerapan pasal-pasal tersebut. Dia sudah pernah disumpah sebagai advokat di hadapan Majelis Pengadilan Tinggi Banten dan kerap memberi bantuan hukum secara pro bono.
Namun, dia kemudian dinyatakan melanggar kode etik oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) setelah insiden di ruang sidang. Insiden itu terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) pada 6 Februari 2025 kala Firdaus naik ke meja kuasa hukum saat terjadi keributan.
Peran Firdaus di persidangan adalah sebagai kuasa hukum tambahan dalam perkara pengacara Razman Arif Nasution. Ia menilai sanksi itu dijatuhkan tanpa proses sidang etik yang adil dan tanpa kesempatan membela diri.
Tiga hari setelahnya, Ketua PT Banten membekukan berita acara sumpah advokat miliknya. Akibatnya, Firdaus tak dapat lagi bekerja sebagai advokat.
Dia mengatakan, pembekuan itu telah menghilangkan haknya untuk mencari nafkah dan membantu para pencari keadilan melalui profesinya.
Dalam petitumnya, Firdaus meminta MK menafsir ulang Pasal 7 Ayat 3 dan Pasal 8 Ayat 2 UU Advokat. Dia meminta agar MK memerintahkan kedua pasal itu dimaknai bahwa organisasi advokat wajib memberi kesempatan pembelaan diri yang adil dan transparan sebelum menjatuhkan sanksi serta bahwa seluruh proses penindakan etik. Termasuk pemberhentian sementara atau tetap harus diputus oleh Dewan Kehormatan dan diteruskan ke MA untuk pembekuan berita acara sumpah.
Selain itu, Firdaus juga memohon kepada MK agar menegaskan, pembekuan berita acara sumpah hanya sah jika didasarkan pada putusan etik Dewan Kehormatan. Dia meminta agar penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Banten yang membekukan sumpah advokatnya dinyatakan tidak sah.