[WANSUS] Lika Liku Penuntasan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

KontraS anggap pengakuan itu bukan hal baru

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengakui ada 12 peristiwa pada masa lalu, yang masuk kategori pelanggaran HAM berat. Karena itu, Jokowi mengaku menaruh simpati kepada korban dan keluarga.

Berikut 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui negara, yang dibacakan Jokowi:

1) Peristiwa 1965-1966,
2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,
4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,
5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,
10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,
11) Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan
12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Kepala Divisi Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Tioria Pretty, memandang pengakuan itu bukan hal yang baru dari pemerintah. Sebab, ada sejumlah lembaga negara lain juga pernah memberikan sejumlah rekomendasi mengenai pelanggaran HAM berat.

"Di satu sisi pengakuan presiden atas 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah sesuatu yang baik, tapi juga berdasarkan pemantauan kontras dari selesai reformasi sampai sekarang, pengakuan seperti itu bukan hal yang baru," ujar Pretty, dalam acara Ngobrol Seru by IDN Times, bersama Zainal Arifin Mochtar selaku anggota tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM), baru-baru ini.

Berikut Ngobrol Seru IDN Times terkait dengan pengakuan Jokowi terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu.

Mbak Pretty, Presiden Jokowi sudah mengakui ada pelanggaran HAM berat di masa lalu, pandangan Kontras seperti apa?

Di satu sisi pengakuan presiden atas 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah sesuatu yang baik, tapi juga berdasarkan pemantauan KontraS dari selesai reformasi sampai sekarang, pengakuan seperti itu bukan hal yang baru, itu yang pertama.

Kedua, rekomendasi untuk melakukan pengakuan juga bukan hal yang baru, karena berdasarkan yang kita pantau sejak 1999 itu Komnas HAM juga sudah menyampaikan demikian kepada pemangku jabatan presiden saat itu. Bahkan, rekomendasi Komnas HAM, mereka tidak sekadar pengakuan, tapi juga agar kepala negara melakukan permintaan maaf, mengingat pelanggaran HAM berat itu kan akibat penyalahgunaan kekuasaan, baik badan atau pemerintah.

Ketika yang dilakukan di satu sisi bagus, meskipun sebenarnya Presiden Jokowi kan sebenarnya sudah menjanjikan hal seperti itu sejak periode pertamanya di 2014. Agak terlambat juga, menunggu kira-kira dua periode jabatannya dia. Saat sudah kira-kira bentar lagi mau berakhir, kemudian baru dilaksanakan seperti ini.

Tentu saja pengakuan ataupun permintaan maaf itu tidak dapat berdiri sendiri, itu cuma satu di depan terus kemudian yang pasti dia harus tindaklanjuti dengan rangkaian tindakan yang lain, untuk memenuhi hak-hak korban lain secara keseluruhan. Karena kalau misalnya mengaku saja, terus tidak ditindaklanjuti dengan rangkaian pemenuhan hak korban yang lain, jadi kosong.

Mas Zainal, ini kan masuk juga sebagai anggota tim PPHAM, pemerintah mengakui pelanggaran HAM beratnya mengakui jalur nonyudisial?

Pertanyaanmu ini seharusnya ditanyakan ke Presiden, karena yang bentuk kan presiden. Tapi izinkan saya cerita begini, satu, barangkali kenapa jadi kalau baca laporan itu, laporan itu membahasakan begini, laporan itu dibuat dengan membuat kemungkinan di tengah berbagai ketidakmungkinan. Itu bahasa laporan, jadi kira-kira yang kita mau ambil adalah kemungkinan di tengah berbagai ketidakkemungkinan.

Kenapa ada berbagai ketidakkemungkinan? Karena saya kira kita punya banyak sekali kendala, pengadilan HAM mau yang adhoc, maupun yang bukan itu sampai sekarang kan tidak pernah bisa bekerja dengan baik. Ada empat perkara yang sudah disidangkan, alhamdulillah semuanya lolos. Semuanya dibebaskan tidak ada satu pun yang kena.

Problem yang lainnya masih bolak-balik terus dan KKR-nya (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) masih panjang sekali nih problemnya, jadi kita bertemu dengan beberapa ormas, KKR itu sendiri saya kira perdebatannya panjang sekali. Nah, di tengah berbagai ketidakmungkinan kenapa beberapa di antara kami ambil saja kesempatan ini, itu karena kami tidak ingin korban jatuh berkali-kali, pengadilannya tidak ada, mereka tidak mendapat keadilan dari sisi yuridis, mereka juga tidak mendapatkan apa-apa karena kompensasinya dicabut semua.

Karena kompensasi itu bisa dijatuhkan menurut UU No 26 Tahun 2000 bersamaan dengan putusan pengadilannya, dan begitu putusan pengadilannya dibebaskan di Mahkamah Agung, kompensasinya juga dicabut, sehingga tidak ada yang dapat kompensasi. Itu yang membuat kenapa kita ambil di tengah berbagai ketidakmungkinan.

Yang kedua, saya gak tahu ya, kalau tadi disampaikan presiden sudah pernah melakukannya saya kira tidak, bahwa rekomendasi itu ada, ya, tapi belum ada presiden satupun menurut saya, kalau ada nanti tolong diberikan presiden siapa. Seingat saya tidak ada satupun presiden yang tidak pernah menyatakan telah terjadi, mengakui dan menyelesaikan.

Bahwa ada rekomendasi ke arah sana ya, tapi saya kira ini pertama kali ada pengakuan dan penyesalan. Mengenai itu bentuk permintaan maaf atau apa, nanti kita bisa diskusikan kemudian.

Saya kira, tim ini juga sudah menyatakan dengan jelas sedari awal ketika kami dibentuk, bahwa nonyudisial ini menegasikan yudisial. Jadi, karena nonyudisial dianggap yudisialnya dihilangkan, gak, dan presiden juga menyatakan yang sama bahwa tim ini dibentuk untuk tidak menegasikan yudisial, yudisial terus jalan.

Bahwa tim ini dibentuk untuk menegakkan hak korban dan biasanya negara untuk melakukan sesuatu butuh pengakuan dan penyelesaian seperti yang akhirnya diucapkan oleh presiden.

Kalau ada yang mengatakan ini adalah bagian dari kebangkitan PKI, mengkreditkan umat Islam, gak sama sekali, karena kalau kita lihat postur kasusnya misalnya di kasus 65, kami menangani semua, bukan hanya eks PKI, tapi tentaranya, juga orang yang tidak ada kesangkutannya dengan PKI, tiba-tiba kena tuduh, kami ketemu dengan ormas NU, Muhammadiyah. Kami tidak mendiskreditkan kelompok tertentu, tapi kami fokus korban, kita ke korban bahwa korban harus mendapatkan sesuatu supaya mereka tidak jatuh berkali-kali.

Banyak juga kasus-kasus berkaitan dengan umat Islam dan kita coba dorong untuk diselesaikan, misalnya kasus Aceh dan lain-lain sebagainya.

Untuk MbakPretty, Presiden kan hanya menyampaikan pengakuan, tapi tidak ada kata maaf dari Pak Jokowi, kalau pandangan KontraS seperti apa?

Ini balik lagi yang sudah saya sampaikan, pengakuan dan permintaan maaf itu sudah jadi rekomendasi lembaga negara dari jauh-jauh hari, sebenarnya selain pengakuan dan permintaan maaf lembaga negara yang lain juga sudah pernah merekomendasikan hal-hal yang lain, misalnya rehabilitasi nama baik, rehabilitasi fisik, kompensasi dan sebagainya, itu lembaga lain sudah merekomendasikan itu, mulai dari Komnas HAM, DPR RI, bahkan Mahkamah Agung.

Tapi gak dilaksanakan, itu yang jadi kata kuncinya, aslinya kita sudah banyak banget segudang hitam di atas putih rekomendasi cantik yang bagus-bagus, ya permasalahannya dilaksanakannya atau gak, itu yang tidak dilakukan.

Jadi, ketika Presiden Jokowi tidak melakukan permintaan maaf, kecewa, tapi bukan hal yang baru, karena kasus ini sudah menggantung sejak 20 tahun, menjadi jualan setiap tahun politik, itu hal yang biasa.

Yang kedua adalah peristiwa Timor-Timor, peristiwa 65, beliau (Gus Dur ketika jadi Presiden) juga sebagai NU, permintaan maafnya juga dianggap sebagai tokoh NU bukan presiden Indonesia, tapi untuk pernyataan Timor-Timor 1999 pernyataan maaf dia sebagai Presiden dan dicatat sebagai United Nation tim bentukan untuk peralihan Timor Leste untuk Indonesia

Ada dorongan apalagi dari KontraS untuk pemerintah?

Kalau dari KontraS sendiri sebenarnya, pun tak ada tim PPHAM KontraS tetap melakukan hal yang sama, soal empat hak korban, mulai dari keadilan, hak kebenaran, hak pemulihan dan hak kejadian tidak berulang.

Untuk empat hal ini ada tim PPHAM atau gak itu akan selalu disuarakan oleh KontraS sampai kapan pun. Tapi, dengan adanya tim TPPHAM mengeluarkan rekomendasi, yang diminta oleh KontraS itu kita akan meminta empat hal itu.

Untuk Mas Zainal, tadi disampaikan ada rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah, rekomendasinya apa sih sebenarnya?

[WANSUS] Lika Liku Penuntasan Pelanggaran HAM Berat Masa LaluYouTube Zainal Arifin Mochtar

Banyak banget, tapi kira-kira pada tiga level. Pertama, soal berkaitan dengan pemulihan, jadi ada serangkaian hak korban, jadi hak korban itu yang kita bayangkan itu bukan cuma hak-hak sebagai warga negara, tapi juga hak konstitusional.

Saya ingin ceritakan begini. Bahwa sudah banyak rekomendasi HAM, iya, tapi apakah ada yang pernah dilaksanakan dengan baik, saya rasa tidak. Termasuk misalnya Komnas HAM juga kan sudah mendata, jumlah korban pelanggaran HAM, tapi data Komnas HAM itu sangat tidak lengkap. Dan kemudian datanya hanya sekitar berapa ribu dari korban pelanggaran HAM, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) juga sudah melakukan, tapi LPSK membantu dengan sangat minimalis dan itu hanya sekitar 3-4 ribuan data di LPSK.

Itu yang kemudian kita kritisi, kita bilang bahwa butuh dilakukannya pendataan yang jauh lebih baik. Misalnya kami ketemu Komnas HAM, Komnas HAM bilang 'mana bisa melakukan pendataan kalau orang yang tersedia cuma beberapa orang'. Makanya salah satu rekomendasi kita tambah dorong orangnya. Menteri Keuangan ok kelihatannya gak masalah. Karena data korban ini berantakan sekali.

Untuk Mas Zainal, Tim PPHAM ini kan sudah sampaikan rekomendasi ke Presiden, apakah ini akan dibubarkan?

Saya kira dalam Kepresnya dinyatakan berakhir Desember dan sekarang sudah lewat Desember, dan 1 Januari sudah tidak ada, sudah selesai. Dan laporannya saja karena Presiden ada agenda dan baru disampaikan ke presiden (Januari).

Kesulitan apa saja yang dialami tim PPHAM?

Banyak sekali, kalau baca di laporan dituliskan secara lengkap apa saja hambatan kenapa tidak terdata dengan baik, beberapa di antaranya pendataan yang buruk, karena sudah cukup lama, karena sebagian kasus itu terjadi di masa lalu, harus menggunakan pengadilan HAM Adhoc, hanya ada kemudian beberapa pasca UU No 26 Tahun 2000, sebagian besar korban sudah meninggal, sudah hilang, dan tidak diketahui tempatnya.

Dan saya kira jenis dan kasus pelanggaran HAM itu akhirnya beda-beda dari 12 perkara itu, ada yang memang masih mudah dan kemudian bisa dikejar.

Kedua, ketertutupan. Saya kira salah satu utang negara adalah ketertutupan, ada lembaga-lembaga yang tertutup, dalam beberapa kasus sebenarnya pendataannya ada, misalnya di tempat-tempat tertentu pendataannya sebenarnya ada, ketika ditagih ulang data itu gak pernah ada.

Pentingnya ketika presiden sudah menyatakan pengakuan, maka seharusnya dilaksanakan oleh komponen bangsa, termasuk seluruh lembaga negara mau menyerahkan data-data itu.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya