Ilustrasi Undang-Undang (IDN Times/Arief Rahmat)
Menurut Harkristuti, judicial review terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja bisa bersifat materiil maupun formil. Kalau alasan materiil, yang perlu dilihat, apakah pasal-pasal yang ada di omnibus law ini inkonstitusional, atau bertentangan dengan konstitusi. Alasan materiil ini dalam pandangannya tidak akan mudah dijawab MK.
"Karena harus satu-satu melihatnya, mau pakai klaster boleh, tapi kalau dilihat semuanya dari segi materiil agak berat, karena yang diperiksa oleh MK adalah apakah dia konstitusional atau tidak. Jadi undang-undang ini dihadapkan pada rumusan-rumusan konstitusi. Saya ragu kalau secara jelas ada yang bertentangan, mungkin pekerjaan MK akan menjadi sangat berat," kata mantan dirjen Hak Asasi Manusia Kemenkum HAM itu.
Jika yang dipersoalkan adalah masalah prosedural dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak diikuti, sehingga bisa membatalkan seluruh undang-undang, ia juga ragu hal itu bisa terjadi. Sebab sepengetahuannya, pengajuan judicial review untuk beberapa pasal dalam sebuah undang-undang saja, butuh waktu lama. Ia menyontohkan uji materi pasal terkait KPK yang hingga kini belum ada putusannya sama sekali. Harkristuti menduga hal ini akan menimbulkan perdebatan cukup banyak nantinya.
"Prosedurnya seperti apa, itu harus disiapkan alat buktinya, surat-suratnya. Lalu pertanyaannya, apakah sudah cukup partisipasi publik? Apakah dalam setiap rapat itu, saya gak bisa bayangkan 1.200 itu rapatnya berapa kali, itu memang sudah mencakup semua pasal-pasal yang dimasukkan dalam omnibus law. Ini juga menurut agak susah dipertahankan. Tapi bukan tak mungkin, hanya saja butuh waktu lama," katanya.
Soal apakah 'bukti' adanya penambahan beberapa pasal setelah undang-undang itu diketuk palu bisa diajukan dalam proses pengujian ke MK, Harkristuti menilai, jika yang dipakai adalah pendekatan rigid dari hukum, seharusnya itu bisa dilakukan. Tetapi lagi-lagi yang harus dilihat adalah apakah perubahan itu bersifat substasi atau tidak, sehingga menyebabkan UU menjadi tidak sesuai dengan yang sudah disepakati bersama DPR dan pemerintah.
Keberhasilan judicial review itu sendiri, menurut dia, sangat tergantung dari semua pandangan hakim MK. Yang penting adalah apakah yang mengajukan judicial review bisa mengatakan bahwa ada pasal-pasal dalam konstitusi kita yang dilanggar dalam UU Cipta Kerja, karena yang selama ini yang disampaikan lebih karena tidak selaras dengan UU sebelumnya.
"Ada perubahan, tapi apakah perubahan itu berarti menabrak konstitusi. Saya juga gak berani jawab dengan jelas. Kayak misal, upah buruh. Apakah yang begini melanggar HAM, bertentangan dalam konstitusi. Ini akan memicu perdebatan panjang di MK sendiri. Saya rasa hakim-hakim MK juga belum sampai keputusan, sudah pada rontok rambutnya, ini sangat complicated," dia menjelaskan.
Meski begitu, Harkristuti sekali lagi menekankan, bahwa meskipun sangat 'gemuk', bukan tidak mungkin judicial review dilakukan. Tetapi memang akan memakan waktu yang tidak sedikit. "Dan, akan banyak sekali berkas yang harus dimajukan untuk judicial review. Ini bukan tidak mungkin, mungkin saja. Tetapi saya tidak bisa menjamin hasilnya," kata dia.