Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20250810-WA0011.jpg
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh berfoto bersama jajaran fungsionaris DPP Partai NasDem di Rakernas Makassar. (Dok. Media Partai NasDem).

Intinya sih...

  • NasDem dorong DPR pertemukan MPR dan Presiden dalam dialog konstitusional

  • DPR didesak segera bahas RUU Pemilu menindaklanjuti Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024

  • Makin lama RUU Pemilu dibahas, makin kencang gugatan ke MK karena dinilai mengaburkan amanat konstitusi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Partai NasDem menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I di Makassar, Sulawesi Selatan pada 8-10 Agustus 2025. Rakernas ini menghasilkan beberapa rekomendasi. Di antaranya, menjaga tegaknya konstitusi, perombakan sistem pemilu, percepatan legislasi pro-rakyat, dan kedaulatan ekonomi nasional.

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai NasDem, Dedy Ramanta mengatakan, dalam bidang hukum, NasDem berkomitmen menjadikan konstitusi sebagai hukum tertinggi.

Karena itu, NasDem menolak pemisahan pemilu nasional dan daerah sebagaimana perintah Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXI/2024.

"NasDem dengan lantang menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2024 sebagai ultra vires—melampaui kewenangan—karena mengubah norma konstitusi adalah domain Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)," kata Dedy dalam keterangan resmi, Minggu (10/8/2025).

1. NasDem dorong DPR pertemukan MPR dan Presiden dalam dialog konstitusional

Wakil Sekretaris Jenderal Partai DPP NasDem, Dedy Ramanta. (Dokumentasi NasDem)

Dedy mengatakan, NasDem mendorong DPR memprakarsai dialog konstitusional melibatkan MPR, Presiden, dan lembaga negara.

Pimpinan lembaga negara, kata dia, bisa membahas secara serius agar penyelenggaraan kehidupan nasional tidak menabrak konstitusi dalam forum tersebut.

"NasDem mendesak DPR agar memprakarsai dialog konstitusional melibatkan MPR, Presiden, dan lembaga negara terkait, demi memastikan seluruh penyelenggaraan kehidupan nasional tunduk pada UUD 1945," kata dia.

2. DPR didesak bahas RUU Pemilu

Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini sebut putusan MK soal ambang batas pencalonan presiden merupakan keputusan yang monumental. (IDN Times/Fauzan)

Pakar Hukum Tata Negara, Titi Anggraini, mendesak DPR segera menindaklanjuti Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu melalui pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu.

Ia menilai, pembaruan Undang-Undang Pemilu sudah mendesak karena UU Nomor 7 Tahun 2017 belum pernah diubah sejak Pemilu 2019. Padahal, beberapa bagian dari UU tersebut sudah tidak relevan dan ada sebagian yang dibatalkan MK.

Hal tersebut disampaikan Titi Anggraini dalam diskusi virtual Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN UI), pada Minggu 27 Juli 2025 lalu.

“Ketika kita bicara pemilu DPRD pascaputusan MK 135 tentang pemisahan pemilu, yang pertama ya tentu saja harus segerakan pembahasan RUU Pemilu. Karena putusan MK itu bukan obat bagi semua persoalan pemilu kita," kata Titi.

3. Makin lama RUU Pemilu dibahas, makin kencang gugatan ke MK

Titi Anggraini, perempuan tangguh 2024 yang menginspirasi. (IDN Times/Tata Firza)

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, semakin pembahasan RUU Pemilu diundur-undur, akan semakin banyak pihak-pihak yang pergi ke MK untuk menggugat putusan MK 135/2024. Benar saja, belum genap dua bulan, putusan MK 135/2024 kini digugat.

Gugatan pertama diajukan Brahma Aryana, Aruna Sa’yin Afifa, dan Muhammad Adam Arrofiu Arfah yang terdaftar dengan Nomor Perkara 124/PUU-XXIII/2025. Gugatan lainnya diajukan Bahrul Ilmi Yakup, Iwan Kurniawan, dan Yuseva dengan Nomor Perkara 126/PUU-XXIII/2025. Hal ini menjadi respons dari putusan MK karena dinilai mengaburkan amanat konstitusi.

Sejak awal, Titi sudah mewanti-wanti parlemen di Senayan bahwa putusan MK 135/2024 bukan solusi tunggal untuk memperbaiki kompleksitas pemilu di Indonesia.

“Saya juga seringkali menyebut semakin lama RUU Pemilu dibahas sebagai respons atas putusan MK, orang akan semakin semangat ke Mahkamah Konstitusi, karena mereka merasa tidak tersalurkan aspirasi hukum dan politiknya untuk mendapatkan pengaturan, yang mereka anggap sebagai pengaturan yang konstitusional,” kata dia.

Setidaknya, terdapat lima UU harus disesuaikan karena berimplikasi dengan Putusan MK 135/2024 yakni UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU Pemerintahan Daerah, serta UU Pemerintahan Aceh.

“Maka ada sejumlah undang-undang yang ikut terdampak, yang memerlukan penyelarasan, penyesuaian dan juga penataan pasca-putusan MK 135 tentang pemisahan pemilu," ungkap Titi.

Editorial Team