Jakarta, IDN Times- Halil masih tertidur pulas di atas dipan kayu ketika azan subuh berkumandang di pesisir Teluk Jakarta. Tubuhnya tengkurap di balik sarung biru yang sudah lusuh. Tangan kanannya memeluk bantal. Sementara tangan kirinya merangkul kedua putrinya yang terlelap di sebelahnya. Asap obat serangga bakar dan kipas angin menjaga mereka dari gigitan nyamuk. Sesekali tangan Halil menyapu telinga karena terusik nyamuk.
Halil menghabiskan malam di atas dipan beranda rumahnya. Ia dan kedua anaknya memilih tidur di beranda karena semilir angin pesisir yang begitu sejuk saat malam hari. Rumah Halil jauh dari sempurna jika melihat Keputusan Kementerian Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang rumah sehat. Luas bangunannya hanya 42 meter persegi. Pondasi bangunan hanya ditopang pilar kayu. Dindingnya terbuat dari triplek yang sudah usang akibat diterpa hujan dan panas yang datang silih berganti.
Pasir pantai menjadi alas rumahnya. Bahkan, kamar mandi pun tidak ada. Sulit rasanya membedakan mana ruang tamu dan ruang tidur. Di belakang rumah Halil mengalir sungai Kali Adem. Jika laut pasang atau hujan deras, rumah dia pun bak kolam yang digenangi air tawar dan asin.
Malam itu Halil tidur begitu larut. Jarum jam sudah menunjukkan angka 03.40 WIB. Belakangan ayah dari lima anak itu memang sulit tidur. Ia merasa hidupnya tinggal menghitung hari. Bukan karena penyakit mematikan, melainkan akibat negara yang gagal memberikan kepastian. Terlalu berat memang bagi Hilal untuk memikirkan negara. Tapi, ini menyangkut masa depan dia dan keluarganya. Semua berawal karena reklamasi di utara Jakarta.
Kini, hidupnya seakan digerogoti reklamasi yang membawanya ke jurang ironi. Halil bak pengungsi di negeri sendiri. Sebagai nelayan tradisional yang hidup dari kekayaan laut, dia menolak kebijakan pembuatan daratan tambahan di pesisir utara Ibu Kota. Namun, apa daya sebagai rakyat kecil, ia merasa aspirasinya tidak didengar mereka yang haus akan harta.
Halil bukan pendatang baru yang hendak berjudi dengan nasib di Jakarta. Sejak 1994, ia sudah bermukim di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara. Pria 51 tahun ini juga bukan nelayan kacangan yang baru merasakan nikmatnya lautan. Ia sudah menekuni pekerjaan sebagai nelayan sejak usia tujuh tahun.
Lebih dari seperempat abad, Halil berhasil menyambung hidup dari ikan dan kerang yang bersembunyi di balik kekayaan bahari Teluk Jakarta. Bukan hanya Halil, ratusan keluarga juga menggantungkan hidupnya dari sumber rezeki yang sama. Sayangnya, tidak banyak pemangku kebijakan yang sadar akan hal itu. Sebagian dari mereka seolah dibungkam rupiah demi menjadi penyambung lidah para pengembang dan pihak yang diuntungkan dari proyek reklamasi.