Belajar dari penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan penutupan beberapa area lokalisasi kita semestinya bisa memahami bahwa: melarang suatu hal tidak berarti praktiknya serta merta berhenti. Sudah hampir 10 tahun UU Narkotika hadir, tetapi angka peredaran gelap dan pemakaian narkotika bukannya menurun, melainkan terus bertambah dari tahun ke tahun.
Beberapa kali, pemerintah pusat maupun daerah membubarkan area lokalisasi pekerja seks. Hal ini terbukti tidak efektif karena beberapa kawan pekerja seks hanya pindah ke area atau kota lain yang situasinya lebih memungkinkan mereka berkerja. Penutupan lokalisasi di suatu kota juga tidak berarti tidak ada lagi transaksi seks di kota tersebut – mungkin mata kita saja yang tak lagi dapat memantaunya.
Untuk hal-hal seperti pemakaian narkotika, seksualitas, dan pekerja seks, pemerintah semestinya membangun dialog yang konstruktif dengan komunitas terdampak dan melakukan pendidikan yang jujur tentang hal-hal ini pada masyarakat umum. Pendekatan pidana yang dibungkus alasan moral – tanpa melihat bagaimana dampak kebijakan ini kepada aspek kesehatan publik justru hanya menempatkan masyarakat umum sebagai korban.
Mengkriminalisasi pemakaian narkotika, berhubungan seks secara konsensual, dan pekerja seks akan menempatkan praktik-praktik ini di sudut-sudut paling gelap masyarakat kita – tanpa bisa dipantau dan akan mempersulit upaya-upaya intervensi kesehatan. Yang dirugikan dari keberadaan pasal ini adalah bukan si pekerja seks itu sendiri misalnya, tetapi juga masyarakat luas.
Kriminalisasi akan mendorong pemakai narkotika dan pekerja seks semakin tersembunyi dan sulit terjangkau oleh akses kesehatan. Konsekuensinya: peningkatan angka HIV/AIDS dan IMS.
Belum lagi terdapat banyak pasal-pasal lain di RKUHP yang amat mudah memenjarakan orang sehingga rawan menimbulkan overkriminalisasi. Padahal saat ini rekan-rekan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM masih terus dilanda permasalahan lapas yang kelebihan beban (overcrowding).
Situasi di mana penjara amat penuh akan menimbulkan dampak kesehatan yang tidak murah dan tidak mudah untuk diatasi: sanitasi yang bermasalah, problem pada pencernaan, penyakit kulit, problem pada pernafasan, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), tuberculosis (TB), dan lain-lain.
Hal ini sungguh ironis mengingat setiap tahunnya Kementerian Kesehatan bersama lembaga-lembaga swadaya masyarakat pun keagamaan – seperti Lembaga Kesehatan Nadhlatul Ulama dan Aisyiyah, Gerakan Perempuan Persyarikatan Muhammadiyah – mengelola ratusan ribu hingga jutaan dollar Amerika untuk menanggulangi HIV/AIDS serta TB di Indonesia. Segala usaha itu akan kembali ke titik nol ketika RKUHP disahkan.