Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti (YouTube/Mahkamah Konstitusi)
Bivitri pun mengkritisi pernyataan Partai NasDem yang menyebut Putusan MK Nomor 135/2024 melanggar konstitusi. Ia menilai, Putusan MK ini masih konstitusional karena MK tidak membuat UU baru sebagaimana yang ditudingkan. Menurutnya, MK hanya memberikan tafsiran.
"Tetap konstitusional karena mereka bukan bikin undang-undang baru, yang mereka lakukan adalah menafsirkan konstitusi, jadi masih konstitusional," kata dia.
Bivitri juga menanggapi adanya narasi dari NasDem yang menyebut Putusan MK inkonstitusional karena menjadikan pemilihan anggota legislatif (pileg) DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, tidak diselenggarakan secara rutin lima tahun sekali, sebagaimana amanah Pasal 22E UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan Putusan MK Nomor 95/2022.
"NasDem tuh bilangnya pemilu menjadi tidak rutin. Sebenarnya juga di dalam Putusan 135 itu sudah dijelaskan dan bisa diterima dengan penalaran hukum yang wajar, istilahnya begitu. Jadi bukan, kalau dikatakan putusan MK itu melanggar konstitusi, saya tidak setuju. Apa yang mereka lakukan masih dalam tugas konstitusional mereka," tegas dia.
Menurut Bivitri, NasDem dan parpol lainnya menolak Putusan MK 135/2024 karena mengusik kenyamanan mereka dalam gelaran kontestasi politik. Padahal Putusan MK ini harusnya jadi angin segar bagi masyarakat luas dan demokrasi.
"Tentu saja Nasdem mungkin maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK," tutur dia.
Sebaliknya, Bivitri mengaku khawatir keberadaan MK yang saat ini jadi benteng terakhir harapan masyarakat digembosi kewenangannya. Salah satu caranya melalui Revisi UU MK hingga mengganti Hakim MK yang saat ini sudah bekerja dengan baik.
"Nah, jadi memang benteng pertahanan demokrasi kita menurut saya MK. Jadi sebenarnya, sinyal dari Nasdem dan mungkin partai lainnya, mengkhawatirkan. Saya khawatir nanti MK-nya akan diserang, pakai kewenangan bikin undang-undang, misalnya revisi UU MK, atau ganti—memang mau ada 2 sih yang pensiun tahun depan kan, 2 hakim—atau ganti orang," imbuh dia.
Adapun, MK mengabulkan sebagian permohonan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Gugatan ini dilayangkan Perludem sebagai Pemohon.
Dalam amar putusannya, MK menginstruksikan agar pemilu tingkat nasional dan daerah/lokal dipisah, dengan jeda paling cepat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan. Adapun pemilu nasional itu meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.
Dengan demikian, pemilu daerah baru diselenggarakan 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI.