Pakar Hukum Khawatir Putusan MK Diakali untuk Perpanjang Jabatan Presiden

Intinya sih...
Khawatir Putusan MK bisa jadi pintu masuk kepala daerah dipilih DPRD
Idealnya UU Pemilu, Pilkada, MD3, APBN direvisi
Bivitri nilai Putusan MK 135/2024 konstitusional
Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, khawatir Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 diakali oleh DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang (UU), untuk mengakomodir perpanjangan masa jabatan presiden.
Sebenarnya, jika mengacu pada Putusan MK 135/2024 yang meminta agar pemilu ke depan tidak digelar secara serentak ini, tak ada celah untuk memperpanjang periode jabatan presiden. Sebab, pemilu nasional tetap diminta diselenggarakan sesuai jadwal yakni 2029. Sementara, pemilu daerah/lokal perlu penyesuaian dan berpotensi digelar pada 2031. Artinya, yang memungkinkan untuk diperpanjang masa jabatannya ialah DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan kepala daerah.
Menurut Bivitri, ada kemungkinan Putusan MK ini diakali lantaran kondisi pembentukan UU di Indonesia yang sudah semakin carut-marut.
"Aduh sekarang ini akal-akalan, kalau pertanyaannya mungkin gak sih (jabatan presiden yang diperpanjang, bukan DPRD dan kepala daerah), selalu mungkin," kata dia saat ditemui usai jadi ahli dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
"Kalau baca Putusan MK gak mungkin. Tapi kegilaan-kegilaan itu sekarang mereka udah makin cuek gitu. Nanti paling kalau kita protes (UU Pemilu terbaru usai direvisi), uji saja tuh di MK. jadi ya mungkin saja," sambungnya.
1. Khawatir Putusan MK bisa jadi pintu masuk kepala daerah dipilih DPRD
Bivitri pun mengkhawatirkan Putusan MK 135/2024 ini justru jadi pintu masuk Revisi UU Pilkada agar kepala daerah dipilih melalui DPRD. Ia menduga, hal ini sejalan dengan keinginan Presiden RI Prabowo Subianto.
"Jadi bahkan saya sebenarnya agak khawatir jangan-jangan nanti ada lagi. Karena kan Pak Prabowo maunya kepala daerah dipilih DPRD ya. Jadi sebenarnya saya punya kekhawatiran-kekhawatiran itu sih," ungkapnya.
2. Idealnya UU Pemilu, Pilkada, MD3, APBN direvisi
Oleh sebab itu, Bivitri menilai, idealnya Revisi UU Pemilu dan Pilkada harus dibarengi dengan Revisi UU MD3 dan APBN. Hal tersebut memungkinkan, karena MK menginstruksikan agar pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU melakukan rekayasa konstitusional.
"Makanya memang Undang-Undang Pemilu, Pilkada, MD3, APBN itu semua mesti diubah. Makanya disebutnya rekayasa konstitusional. Diubah untuk misalnya di beberapa undang-undang yang disebutnya 5 tahun sekali misalnya. Misalnya Undang-Undang MD3 itu kan bilang masa jabatan itu 5 tahun sekali," kata dia.
"Nah itu mesti diubah, menyesuaikan khusus untuk yang akan datang ini ya. Berarti 2029, mundur 2 tahun, gitulah misalnya ya. Jadi yang dimaksud dengan rekayasa konstitusional itu seperti itu. Di level undang-undang diubah supaya sesuai dengan putusan yang dihasilkan," sambungnya.
3. Bivitri nilai Putusan MK 135/2024 konstitusional
Bivitri pun mengkritisi pernyataan Partai NasDem yang menyebut Putusan MK Nomor 135/2024 melanggar konstitusi. Ia menilai, Putusan MK ini masih konstitusional karena MK tidak membuat UU baru sebagaimana yang ditudingkan. Menurutnya, MK hanya memberikan tafsiran.
"Tetap konstitusional karena mereka bukan bikin undang-undang baru, yang mereka lakukan adalah menafsirkan konstitusi, jadi masih konstitusional," kata dia.
Bivitri juga menanggapi adanya narasi dari NasDem yang menyebut Putusan MK inkonstitusional karena menjadikan pemilihan anggota legislatif (pileg) DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, tidak diselenggarakan secara rutin lima tahun sekali, sebagaimana amanah Pasal 22E UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan Putusan MK Nomor 95/2022.
"NasDem tuh bilangnya pemilu menjadi tidak rutin. Sebenarnya juga di dalam Putusan 135 itu sudah dijelaskan dan bisa diterima dengan penalaran hukum yang wajar, istilahnya begitu. Jadi bukan, kalau dikatakan putusan MK itu melanggar konstitusi, saya tidak setuju. Apa yang mereka lakukan masih dalam tugas konstitusional mereka," tegas dia.
Menurut Bivitri, NasDem dan parpol lainnya menolak Putusan MK 135/2024 karena mengusik kenyamanan mereka dalam gelaran kontestasi politik. Padahal Putusan MK ini harusnya jadi angin segar bagi masyarakat luas dan demokrasi.
"Tentu saja Nasdem mungkin maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK," tutur dia.
Sebaliknya, Bivitri mengaku khawatir keberadaan MK yang saat ini jadi benteng terakhir harapan masyarakat digembosi kewenangannya. Salah satu caranya melalui Revisi UU MK hingga mengganti Hakim MK yang saat ini sudah bekerja dengan baik.
"Nah, jadi memang benteng pertahanan demokrasi kita menurut saya MK. Jadi sebenarnya, sinyal dari Nasdem dan mungkin partai lainnya, mengkhawatirkan. Saya khawatir nanti MK-nya akan diserang, pakai kewenangan bikin undang-undang, misalnya revisi UU MK, atau ganti—memang mau ada 2 sih yang pensiun tahun depan kan, 2 hakim—atau ganti orang," imbuh dia.
Adapun, MK mengabulkan sebagian permohonan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Gugatan ini dilayangkan Perludem sebagai Pemohon.
Dalam amar putusannya, MK menginstruksikan agar pemilu tingkat nasional dan daerah/lokal dipisah, dengan jeda paling cepat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan. Adapun pemilu nasional itu meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.
Dengan demikian, pemilu daerah baru diselenggarakan 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI.