Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menduga revisi Undang-Undang (UU) Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di penghujung masa kerja parlemen 2019-2024 untuk keperluan Presiden Joko "Jokowi" Widodo.
Sebab, revisi undang-undang itu tidak pernah dimasukan ke dalam daftar program legislasi nasional 2020-2024. Selain itu, di dalam draf revisi UU Wantimpres Pasal 1A tertulis penamaan Dewan Pertimbangan Presiden diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
"Revisi UU Wantimpres itu mengandung muatan politis yang kental. Sebab, ngapain juga pemerintahan mau berakhir pada Oktober 2024, tiba-tiba dibahas sebuah undang-undang yang urgensinya tidak berkaitan dengan kepentingan publik luas?" ujar Feri ketika dihubungi, Selasa (16/7/2024).
"Sehingga, wajar saja pembahasan undang-undang ini hendak dijadikan jembatan transisi pemerintahan Presiden Jokowi menuju ke pemerintahan Prabowo. Sayangnya, karena ini melanggar konstitusi keberadaan DPA ke depan tentu inkonstitusional dan lebih ke arah akomodasi ruang politik," katanya.
Ia menggarisbawahi, apabila Jokowi dijadikan Ketua Wantimpres usai lengser, maka situasinya berbeda. Di dalam UU Nomor 19 Tahun 2006, posisi Wantimpres berada di bawah presiden.
"Artinya, wantimpres menjadi bawahan presiden. Sementara, bila dibentuk lembaga baru, maka mungkin marwah politiknya bisa lebih tinggi karena posisinya DPA mau tidak mau disejajarkan dengan Presiden," ujarnya.