Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Pemerintah menilai kewenangan Kejaksaan sebagai pelaksanaan fungsi kehakiman.

  • Polri anggap izin Jaksa Agung untuk perlindungan jaksa adalah komitmen pada prinsip equality before the law.

  • Persaja menyatakan perlindungan terhadap jaksa sebagai representasi negara dalam penegakan hukum merupakan hal wajar.

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), pada Kamis (3/7/2025).

Sidang digelar dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden (Pemerintah), serta keterangan pihak terkait yakni Kepolisian, Persaja, dan Kejaksaan di Ruang Sidang Pleno Lantai 2 Gedung I MK, Jakarta Pusat.

Persidangan kali ini menggabungkan pemeriksaan tiga perkara sekaligus. Pertama, Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025. Kedua, Perkara Nomor 15/PUU-XXIII/2025. Ketiga, Perkara Nomor 67/PUU-XXIII/2025.

1. Pemerintah nilai kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Kejaksaan merupakan fungsi kekuasaan kehakiman

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Pemerintah diwakili Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Penguatan Reformasi Birokrasi Kementerian Hukum dan HAM, Sucipto menjelaskan, kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan oleh Kejaksaan merupakan bentuk pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman. Sucipto juga menyinggung Pasal 28G UUD 1945 yang menjamin perlindungan terhadap setiap orang, termasuk jaksa, dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagai bagian dari sistem peradilan.

Pemerintah menegaskan, Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan merupakan manifestasi dari prinsip internasional yang tercantum dalam Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutors. Menurut Pemerintah, ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena sudah sesuai dengan konstitusi dan praktik internasional sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XI/2013.

2. Penyelidikan dan penyidikan merupakan kewenangan utama Polri

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Kepala Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Polri, Veris Septiansyah menyampaikan, Polri memiliki mandat konstitusional berdasarkan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 sebagai institusi yang menjaga keamanan dan ketertiban serta menegakkan hukum. Ia menegaskan, penyelidikan dan penyidikan merupakan kewenangan utama Polri berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU Polri dan Pasal 6 KUHAP.

Polri menilai bahwa pengaturan perlindungan jaksa melalui izin Jaksa Agung bukan bentuk kekurangan dalam sistem Polri, melainkan komitmen terhadap prinsip equality before the law. Penegakan hukum terhadap anggota Polri tunduk pada prinsip tersebut, tanpa memerlukan izin khusus dari Kapolri jika dilakukan oleh aparat penegak hukum lain.

Lebih lanjut, Polri menilai ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf g UU Kejaksaan perlu dihapus atau direvisi karena berpotensi memperluas kewenangan Kejaksaan secara tidak proporsional. Menurut Polri, fungsi penyidikan tetap harus berada di bawah otoritas yang sah sesuai yurisdiksi: Polri untuk warga sipil dan POM TNI untuk militer.

3. Perlindungan terhadap jaksa sebagai representasi negara dalam penegakan hukum merupakan hal wajar

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jakarta Pusat (dok. MK)

Sementara Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja) yang diwakili Desy Mutia Firdaus menyatakan, perlindungan terhadap jaksa sebagai representasi negara dalam penegakan hukum merupakan hal yang wajar. Ia menyoroti keberhasilan Kejaksaan dalam mengungkap kasus besar dan menyelamatkan keuangan negara hingga ratusan triliun rupiah.

Leonard Eben Ezer Simanjuntak selaku Kepala Badan Pelatihan Kejaksaan RI menambahkan, profesi jaksa merupakan profesi yang paling banyak diuji. Ia berharap pengujian konstitusional ini tidak didorong oleh kepentingan terselubung untuk melemahkan Kejaksaan.

Untuk diketahui, permohonan Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh advokat Agus Salim dan Agung Arafat Saputra. Para Pemohon mengujikan Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan yang menyatakan, “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.”

Dalam persidangan perdana yang digelar di MK pada Rabu (5/3/2025), kuasa hukum Pemohon, Ibnu Syamsu Hidayat menyampaikan ketentuan pasal tersebut memberikan imunitas absolut kepada jaksa, sehingga berpotensi menghambat pengawasan dan meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang.

“Pasal ini menimbulkan imunitas yang absolut bagi jaksa, sehingga kontrol atau pengawasan terhadap kerja-kerja jaksa sulit dilakukan. Hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang, praktik ‘super power’, hingga tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, harus ada batasan yang jelas atas hak imunitas yang melekat pada aparat penegak hukum,” ujar Ibnu di hadapan majelis hakim.

Pemohon juga membandingkan hak imunitas jaksa dengan imunitas advokat yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal tersebut menyebutkan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk membela klien di pengadilan.

Menurut Pemohon, konsep hak imunitas jaksa juga harus memiliki batasan serupa untuk menjaga prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law). “Frasa ini sangatlah karet dan tidak berkepastian hukum. Mudah saja dengan adanya Pasal tersebut, suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh jaksa, kemudian didalilkan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,” tegasnya.

Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan. Para Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945.

Editorial Team

EditorSunariyah