Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Suasana acara Indonesia Millennial and Gen Z Summit (IMGS) 2023. (IDN Times/Tata Firza)

Jakarta, IDN Times - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang akan disemarakkan oleh partisipasi pemilih baru, yaitu mereka yang berusia 17 tahun. Meskipun usia 17 tahun  masih dianggap sebagai anak karena belum mencapai usia 18 tahun. 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 dengan jumlah mencapai 204.807.222 pemilih. Berdasarkan data KPU tersebut, jumlah pemilih muda mencapai 106.358.447 jiwa atau sekitar 52 persen.

Sekretariat Forum Anak Nasional Alya Eka Khairunnisa mengatakan politik kerap kali dipandang dengan citra yang kotor, urusan orang dewasa, licik, rumit dan bahkan tidak penting bagi mereka. Hal ini kata dia berangkat dari citra yang ditanamkan di lingkungan pendidikan atau sosial.

“Aku melihat bahwa sebenarnya citra-citra itu muncul karena sering kali praktik tentang politik yang diajarkan kepada anak itu hanya perihal kekuasaannya saja. Padahal sebenarnya banyak aspek yang dibicarakan dalam politik,” kata dia dalam diskusi bertajuk, 'Peran, Partisipasi dan Hak Anak sebagai Pemilih Pemula' di Kantor KemenPPPA, Jakarta Pusat, Kamis (21/12/2023).

1. Anak cuma paham politik soal kekuasaan saja

(Kiri) Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi dan Partisipasi Anak, KemenPPPA Endah Sri Rezeki dan (kanan) perwakilan sekretariat Forum Anak Nasional Alya Eka Khairunisa dalam diskusi di kantor KemenPPPA, Kamis (21/12/2023). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Menurutnya, Miriam Budiardjo, seorang ilmuwan politik, telah memberikan contoh teoritis dengan merinci lima konsep dasar dalam politik, yakni negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, dan pembagian atau alokasi sumber daya. Termasuk juga partisipasi politik dan budayanya.

“Nah itu yang kerap tadi gak diajarin atau gak dikenalin ke anak-anak. Jadi kita tahu ya cuma orang berebut kekuasaan gitu kan, calon-calon gontok-gontokan padahal yang kita lakukan kita sehari-sehari itu juga bagian dari politik gitu. Di sini miss-nya menurutku, karena kita hanya fokus ke poin yang kedua yaitu kekuasaan saja,” kata dia.

2. Ada jarak antara anak dan politik

Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi dan Partisipasi Anak, KemenPPPA Endah Sri Rezeki di kantor KemenPPPA, Kamis (21/12/2023). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi dan Partisipasi Anak, KemenPPPA, Endah Sri Rezeki, mengatakan anak-anak kerap tak memahami sepenuhnya apa itu konteks politik. Ada jarak antara anak dan politik.

"Jadi selama ini ketika dibilang politik itu, selama ini melibatkan anak anak jadi terluka pokoknya ga boleh ya melibatkan anak, menciptakan anak-anak jadi merasa politik itu kayaknya kotor ya bukan ruangnya anak-anak ya, politik menakutkan, politik itu kotor dan rumit banget kayanya, konflik dan segala macam, penuh kecurangan, sehingga ini yang menyebabkan anak-anak jadi enggan, mungkin tidak semua anak, jadi enggan berbicara soal politik," katanya.

3. Anak-anak tak punya banyak informasi soal pengetahuan politik

Siswa SMAN 10 Semarang masuk PTM 100 persen. (Dok Humas Pemprov Jateng)

Anak-anak juga kurang mendapat informasi yang tepat terkait hal-hal yang berkenaan dengan politik.Karena selama ini anak-anak menurut Endah dijauhkan dari isu politik.

"Akhirnya, yang terjadi adalah banyak anak-anak tidak memiliki informasi yang tepat dan minim informasi. Pengetahuannya kurang memadai tentang politik, demokrasi, pemilu itu seolah-olah masih usia anak," katanya 

Jauhnya anak dari informasi soal politik kata Endah berimplikasi pada momen pemilihan yang akan mereka hadapi. Pemilih muda jadi tidak mendapat informasi utuh.

Untuk menanggapi hal ini, masyarakat atau orang dewasa perlu berperan  meningkatkan pengetahuan, membantu menentukan pilihan dan meningkatkan keinginan menggunakan hak suara.

Editorial Team