Ilustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)
Dalam pandangannya, upaya pencegahan Pemkot Depok dalam menekan penularan virus di kawasan pasar, tak cukup dengan hanya skrining. Semestinya intervensi medis turut dibarengi dengan intervensi Pemkot dalam menata pasar.
“Jangan hanya skrining massal lalu pas ditemui kasus baru lantas ditutup pasarnya. Ya setelah itu dibenahi lah pasarnya. Jangan cuma ditutup dan disiram disinfektan saja. Itu kan sama seperti api kebakaran lalu dipadamkan apinya, lalu sudah selesai,” ucap Alif.
“Ini saatnya jadi evaluasi bagi Pemkot. Karena dari kejadian ini bisa saja merembet ke pasar lain. Karena kita gak tahu pergerakan warga Depok itu kan dinamis sekali,” imbuhnya.
Kini, Pemkot bak berpacu dengan waktu, karena penularan virus di dalam pasar bisa menyebabkan klaster baru dan pada saat bersamaan menambah jumlah kasus positif. Terlebih, saat nanti fase new normal atau normal baru diberlakukan, di mana ada pelonggaran pembatasan sosial dari sebelumnya, yang menuntun tinggi aktivitas masyarakat.
“Kalau pasar gak ditata baik, munculnya klaster baru itu besar terjadi. Apalagi ketika nanti new normal. Ketika banyak fasilitas yang dibuka lagi. Masyarakat untuk cari kebutuhan pangan itu kan jadi tinggi ya, ya kalau ga diatur dari awal ya susah,” jelasnya.
Sementara itu, intervensi medis yang ada, kata Alif, belum siap untuk menghadapi bila munculnya lonjakan kasus baru positif, mengingat terbatasnya antara skrining massal dan mesin penguji sampel.
“Ingat pemeriksaan kita itu tak setinggi di Padang, di sana itu sehari bisa 800-an sampel yang diperiksa PCR swab. Kalau di Depok kan gak sampai segitu. Kita kan cuma punya jatah 1.300-an sampel swab. Jadi dicicil per harinya, sekitar puluhan sampai seratus. Di Depok itu jauh dari ideal lah kalau untuk tes,” katanya.