Pemerintah Diminta Kaji Ulang Kebijakan Mudik Lebaran

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi IX Fraksi PKS DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, meminta pemerintah melakukan kajian ulang atas kebijakan yang mengizinkan masyarakat mudik lebaran tahun ini. Ia khawatir, kebijakan itu dapat menimbulkan lonjakan kasus COVID-19.
"Angka kasus baru COVID-19 di Indonesia masih tinggi, bahkan, angka kematiannya jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia. Selain itu, pengalaman kita menunjukkan bahwa terjadi lonjakan kasus, setiap kali terjadi mobilitas masyarakat pada saat liburan panjang," kata Netty dalam keterangan pers yang diterima IDN Times, Kamis (18/3/2021).
1. Netty menilai 3T di Indonesia masih lemah
Netty mengatakan berdasarkan laporan Satgas Penanganan COVID-19, kasus kematian meningkat 74,80 persen pada periode 22-28 Februari 2021. Menurutnya, penyebab tingginya angka kematian erat kaitannya dengan kebijakan testing, tracing dan treatment (3T) yang masih lemah.
"Untuk ukuran Indonesia yang jumlah penduduknya sekitar 270 juta, seharusnya angka testing kita mencapai 200-300 ribu per hari. Kita harus belajar dari pengalaman India yang angka COVID-19 turun drastis akibat gencarnya testing yang mereka lakukan," katanya.
2. Keputusan pemerintah longgarkan mobilitas masyarakat untuk mudik timbulkan pertanyaan besar
Kondisi tersebut membuat Netty bertanya-tanya, bagaimana bisa pemerintah memberi kelonggaran mobilitas masyarakat di momen mudik lebaran. Apalagi, ia menilai kedisiplinan penerapan 3M saat ini juga semakin menurun.
"Begitu juga kebijakan PPKM skala mikro yang pelaksanaannya makin tidak jelas," katanya.
3. Pemerintah harus pertimbangkan semua aspek secara komprehensif
Oleh karena itu, Netty meminta pemerintah agar mempertimbangkan kembali semua aspek secara komprehensif sebelum memutuskan melarang atau membolehkan mudik lebaran. Netty mewanti-wanti jangan sampai Indonesia menyesal di akhir.
"Program vaksinasi yang sedang berjalan jangan dijadikan dalih untuk merasa aman dan mengabaikan prokes serta pembatasan mobilitas penduduk. Apalagi realisasinya juga masih sangat rendah, yaitu baru sekitar 200 ribu dosis per hari, padahal taget pemerintah satu juta dosis," katanya.