Peneliti C-RiSSH Universitas Jember, Agus Trihartono. IDN Times/Istimewa
Tidak hanya bagaimana warga Jawa Timur memaknai kopi, Agus juga meneliti bagaimana sisi sosial maraknya kafe yang menyajikan kopi di kota-kota kecil di Jawa Timur, seperti Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Bojonegoro dan kota lainnya.
Peneliti gastrodiplomasi lulusan Ritsumeikan University Jepang ini mencatat, keberadaan kafe atau kedai kopi modern di kota-kota di Jawa Timur mulai marak semenjak tahun 2012. Salah satu temuannya adalah keberadaan kafe tersebut berpotensi mengurangi kohesivitas warga. Pasalnya, suasana kafe diatur lebih privat berbeda dengan warung kopi tradisional yang lebih menyatukan hubungan antar pelanggan.
“Saat ini orang ke kafe lebih karena ingin tahu, baik ingin tahu suasananya sekaligus ingin tahu menu kopi yang disajikan yang relatif baru bagi konsumen di kota kecil, seperti Vietnam Drip, Cappucino dan lainnya," ujarnya.
Menurut dia, kafe dan kedai kopi modern umumnya didesain memiliki aturan tertentu sehingga yang datang harus menyesuaikan diri. Kafe lebih cocok untuk ngobrol ringan atau diskusi terbatas.
Kafe saat ini juga menjadi alternatif tempat bekerja dan belajar. Apalagi, kafe menyediakan wifi gratis. Ini berbeda dengan warung kopi tradisional yang justru hidup dengan obrolan dari yang ringan hingga serius membahas politik.
"Kohesivitas atau keterlibatan sosial di kafe lebih rendah daripada di warung kopi tradisional,” jelasnya.