Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Psikolog Klinis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, Vitria Lazzarini Latief, menyebutkan alasan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sangat dibutuhkan untuk penanganan dan pemulihan psikologis korban.

Menurut Vitria dampak psikologis yang terjadi pada korban kekerasan seksual beragam, karena peristiwanya sendiri saja sudah traumatis walau tidak ada penetrasi dalam kejadiannya.

"Kita belum mengenal pelecehan seksual jadi kalau dia lapor masih belum diakui, akibatnya peristiwa seperti penolakan itu yang memperparah dampaknya," kata dia seperti dikutip dari YouTube Komnas Perempuan, Senin (25/4/2022).

Korban kekerasan seksual dari aspek pola pikirnya akan terpengaruh, menyalahkan diri sendiri dan merasa tak bisa mencegah kekerasan yang dialami.

1. Penanganan dan pemulihan psikologis korban akan berdampak jika tak tertangani

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Jika hal ini tak tertangani, kata Vitria, maka akan berdampak jangka panjang. Korban kekerasan seksual akan mengalami gangguan psikologis yang lebih serius, misalnya seperti gangguan stres pasca-trauma atau PTSD, muncul trauma dan gangguan perilaku.

Pada korban anak, lanjut Vitria, kekerasan seksual yang tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan gangguan perilaku yang lebih agresif dan lebih memberontak.

"Atau muncul berlaku menyakiti diri sendiri, belum lagi gangguan cemas dan gangguan psikomatik," kata dia.

Gangguan psikomatik yang dimaksud, menurut Vitria, adalah perasaan seperti ada masalah kesehatan, namun nyatanya tidak.

2. Sedikitnya tenaga kesehatan mental bagi korban kekerasan seksual

Kunjungan KemenPPPA pada korban paedofilia asal Padang | Deputi Perlindungan Anak, Nahar mengunjungi TR di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Selasa (3/11). (Dok. Humas KemenPPPA)

Vitria mengatakan pemulihan terhadap perempuan korban kekerasan sangat penting, apalagi sejak awal. Ketika melapor kasusnya, layanan psikologis bisa berperan ketika ada rujukan dari kepolisian. Hal ini bisa mendeteksi dampak psikologis yang muncul dan diharapkan bisa digunakan untuk pengambilan keputusan dalam proses hukum.

Tenaga kesehatan seperti konselor dan psikiater, kata Vitria, nyatanya hingga saat ini belum memadai secara jumlah untuk pelayanan pemulihan korban kekerasan seksual.

"Itu juga masih terkonsentrasi di kota-kota besar rata-rata, jadi belum merata di semua wilayah. Nah, ini yang kemudian menjadi tantangan karena kalau mereka mau pemulihan dari kabupaten kota misalnya harus ke provinsi, lintas pulau, menyeberang pulau, itu kan luar biasa," ujar dia.

Selain itu, lanjut Vitria, biaya penanganan psikologis di anggap tak sedikit dan mahal, terutama kalau lembaga berasal dari daerah belum sediakan layanan pemulihan yang bisa diakses seperti belum memiliki psikolog.

3. Psikolog hingga lingkungan korban punya peran pemulihan

Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Rapat Paripurna DPR RI saat pengesahan RUU TPKS pada Selasa (12/4/2022). (dok. KemenPPPA)

Selain tenaga kesehatan, banyak pihak yang harus aktif berperan mendukung proses pemulihan korban kekerasan seksual, mulai dari praktisi kesehatan mental, psikolog, psikiater, pekerja sosial profesional, pendamping korban dan organisasi, kemudian keluarga hingga lingkungan korban.

"Jadi butuh kerja sama semua pihak kalau ngomonin pemulihan," ujar Vitria.

Untuk diketahui, RUU TPKS sudah sah menjadi Undang-Undang pada Rapat Paripurna DPR ke-19 masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, Selasa, 12 April 2022. Kini, pengawasan dan implementasinya menjadi perhatian dan perlu pengawalan dari berbagai pihak.

Editorial Team