JAKARTA, Indonesia — Rukayah baru berusia 20 tahun, tapi seumur hidupnya ia telah tiga kali menikah dan tiga kali berpisah dari suaminya. Kini ia harus menghidupi dua orang anaknya seorang diri.
Perempuan asal Kelurahan Tanjung Karang Permai, Kota Mataram, tersebut merupakan salah satu dari korban pernikahan anak di Nusa Tenggara Barat (NTB). Provinsi tersebut memang tercatat sebagai daerah dengan tingkat pernikahan dini tertinggi di Indonesia.
Rukayah pertama kali menikah lima tahun lalu. Saat itu ia masih berusia 15 tahun dan baru lulus SMP. Tinggal bersama bibinya, ia harus menuruti apa yang dikatakan oleh walinya tersebut.
Hingga suatu malam, ketika ia pulang larut dari tempat kerjanya dan diantar oleh kekasihnya, ia diminta sang bibi untuk menikah dengan lelaki tersebut—yang baru dikenalnya selama tiga pekan.
Pada saat kejadian, lelaki itu masih berumur 17 tahun dan duduk di bangku kelas 2 SMA.
“Saya kan besok paginya mau kerja, baru diterima kerja. Terus mau pulang tapi ambil pakaian dulu di sana. Sesudah ambil pakaian itu, saya telat pulang ke rumah bibi saya. Jadinya orang sekampung itu enggak mengizinkan pulang, kita harus menikah,” ujar Rukayah pada Rappler dalam pertemuan di kantor Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Nusa Tenggara Barat, Mataram, pada Februari lalu.
Dalam budaya setempat, seseorang dianggap telah melakukan merariq jika pulang larut malam dengan laki-laki. Merariq adalah budaya “kawin lari” yang telah dikenal oleh masyarakat adat Suku Sasak sejak dulu, namun saat ini telah mengalami pergeseran makna.
Pada malam itu juga, akhirnya Rukayah merariq dan menginap di rumah bibi dari lelaki tersebut. Ia telah mengutarakan keinginannya agar pernikahan tidak terjadi, namun keesokan paginya orangtuanya sudah datang dan upacara pernikahan siap dilaksanakan.
Setelah pernikahan itu, Rukayah yang baru lulus SMP dan suaminya pun tidak melanjutkan studi mereka. Ekonomi dalam rumah tangga mereka bergantung sepenuhnya pada orangtua masing-masing.