Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Membuat kerajinan cobek secara tradisional menggunakan tanah liat di Kampung Kebondalem Jombang. iDN Times/Zainul Arifin
Membuat kerajinan cobek secara tradisional menggunakan tanah liat di Kampung Kebondalem Jombang. iDN Times/Zainul Arifin

Jombang, IDN Times - M Rifai (69) tampak berkutat dengan tanah liat di rumahnya, Dusun Kebondalem RT 04 RW 04, Desa Kademangan, Kecamatan Mojoagung, Jombang, Jawa Timur. Kedua tangannya begitu terampil mengolah sekepal tanah yang diletakkan di atas perbot (alat putaran alas kayu).

Sambil menjaga alat itu agar tetap bergerak, Rifai mulai mengolah tanah. Sesekali adonan tersebut diairi agar tidak lengket di tangan. Tidak berlangsung lama, atau sekitar 15 menit, sebuah layah atau cobek berukuran besar pun berhasil terbentuk dengan bagus.

1. Turun temurun menggunakan cara tradisional

Menunjukkan hasil kerajinan cobek (layah] dari bahan tanah liat di kampung kebondalem Jombang. IDN Times/Zainul Arifin

Kampung Kebondalem, Kademangan memang menjadi sentra kerajinan cobek dari tanah liat. Kerajianan di sana sudah turun temurun. Begitu pun Rifai sudah 45 tahun menjadi perajin gerabah cobek untuk meneruskan usaha keluaganya. Ia tetap bertahan menggunakan cara tradisional, meski saat ini, banyak perajin lain yang sudah beralih menggunakan cara modern untuk memudahkan aktifitas.

”Sejak dulu saya menggunakan cara tradisional. Mbah saya dulu juga menggunakan cara tradisional. Untuk itu sampai sekarang saya pertahankan,’’ ujar Rifai ditemui wartawan di rumahnya, Senin (7/3/2022).

2. Cara tradisional Dinilai lebih awet

Membuat kerajinan cobek secara tradisional menggunakan tanah liat di Kampung Kebondalem Jombang. iDN Times/Zainul Arifin

Rifai menuturkan, alasan dirinya tak mau beralih menggunakan alat pres yang lebih modern karena ingin menjaga kualitas. Dari ulasan para pelanggannya, cara tradisional dinilai lebih awet dibandingkan menggunakan alat pres.

”Kalau dilogika memang iya. Misalnya, kalau menggunakan cara tradisional kita membentuk layah hati - hati dengan cara menimpal satu tanah dengan tanah lainnya. Sedangkan jika menggunakan alat tinggal di press (tekan) saja,’’ tuturnya.

Selain itu, bapak dari tiga anak itu menyebut, kualitas tanah juga memengaruhi kekuatan cobek buatannya. Rifai membeli dari seorang pengepul asal Desa Gedangan, Kecamatan Mojowarno Jombang seharga Rp200 ribu per 1 tossa. Dari modal itu, ia bisa menghasilkan Rp200 cobek.

3. Sehari bisa memproduksi 30 cobek

Ilustrasi uang. IDN Times/Dok. Zainul Arifin

Lebih lanjut pria kelahiran 1953 itu menuturkan, proses pembuatan cobek sangat tergantung dengan terik matahari. Proses pembuatan di atas perbot memang singkat, perlu waktu 15 menitan, namun untuk proses penjemuran dan pembakaran membutuhkan waktu kurang lebih 10 hari agar benar-benar kering.

”Jika tak ada panas matahari prosesnya semakin lama,’’ katanya menuturkan.

Seharian mulai pagi hingga petang menjelang, Rifai bisa menyelesaikan hingga 30 buah cobek, baik ukuran besar maupun kecil. Rifai mengakui, jumlah pembuatan cobek tersebut menurun seiring bertambahnya usianya. ”Dulu bisa 40-50 buah sehari,’’ ucapnya.

Ia menambahkan, hasil kerajinan cobek yang ia tekuni selama puluhan tahun itu rutin ia jual ke wilayah Mojokerto dengan harga bervariatif, tergantung ukuranya. ”Saya jualnya di Pasar Mojokerto. Per layah Rp9 ribu-Rp14 ribu, ya tergantung ukuran,’’ imbuhnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team