Begini Cara Anak Bandung Menebus Kerinduan pada Kaset Pita

Masih banyak pecinta musik menginginkan kaset pita

Zaman memang maju begitu cepat. Saat telinga ingin dimanjakan dengan musik kesukaan, Joox atau Spotify adalah pilihan. Dengan satu pencetan jempol saja, dua aplikasi ponsel pintar ini dapat memutarkan ratusan ribu musik kesukaan para penggunanya.

Namun, berkembangnya cara masyarakat menikmati musik membuat sebagian orang merindukan masa-masa keemasan kaset pita. Untuk menjawab kerinduan itu, pada Sabtu-Minggu (10-11/11), sejumlah komunitas musik Kota Kembang kembali menggelar Festival Kaset Bandung 2018.

Selain ajang pamer koleksi kaset, dalam festival itu pun pengunjung dapat menjual atau membeli kaset pita, merchandise band lokal dan mancanegara, hingga mengikuti lelang kaset pita langka.

Irfan Maulana, 29 tahun, adalah salah satu pemuda yang rela berdesak-desakkan dengan pengunjung festival lainnya. Menurut dia, festival yang digelar setahun sekali sejak 2015 ini tak boleh dilewatkan. “Banyak kaset pita yang biasanya sulit dicari, dapat dengan mudah saya temui di festival macam ini,” kata kolektor kaset yang mengklaim telah mengumpulkan puluhan album Bimbo sejak 1970-an itu. 

Syahdan, di zaman serba mudah ini, mengapa festival kaset pita masih ramai dikunjungi orang? Lalu, bagaimana proses lenyapnya kaset pita dari permukaan pasar Indonesia?

1. Karakter suara kaset pita

Begini Cara Anak Bandung Menebus Kerinduan pada Kaset Pitakumiche.blogspot.co.id

Ada beberapa alasan yang membuat pecinta musik masih mencari kaset pita. Alasan paling kentara ialah karakter suara khas yang dihasilkan pita.

“Karakter itu sulit dijelaskan. Tapi, bagi kalian yang sudah lama tak mendengarkan musik dari kaset pita, dan sering mendengarkan musik berformat mp3 (MPEG-1 Audio Layer 3), pasti mudah menemukan perbedaan antara keduanya,” tutur Irfan. 

Tak hanya itu, Irfan dan beberapa penggemar kaset pita lain menilai jika perjalanan musik dunia mengalami penurunan kualitas dalam satu dekade terakhir. Kehadiran teknologi MIDI (Musical Instrumen Digital Interface) yang membuat musisi dengan mudah menciptakan instrumental lewat perangkat lunak komputer, menghilangkan unsur ketulenan dari sebuah musik.

Di sisi lain, teknologi macam itu belum dikenal waktu produksi kaset pita merajalela. “Maka itu biasanya musisi yang merilis kaset pita, dipastikan tak pernah menciptakan musik dengan bantuan MIDI. Semuanya serba orisinil,” ujarnya.

Yang terakhir ialah nilai antik dari kaset pita. Pemburuan kaset pita bisa jadi dilakukan karena seseorang tengah memburu rilisan langka. Kaset-kaset itu biasanya dibanderol dengan harga relatif, tergantung seberapa mahal pemilik mau melepasnya.

Ada beberapa kaset yang kini jumlahnya diklaim telah melangka, seperti album Canda dalam Tawa dan Canda dalam Ronda karya Iwan Fals, album Tinggalah Kusendiri karya Nike Ardilla, dan beberapa album karya Guruh Gipsy.

2. Band indie produksi kembali kaset pita

Begini Cara Anak Bandung Menebus Kerinduan pada Kaset Pitagigsplay.com

Jika grup musik mayor tidak lagi menggunakan kaset pita dalam merilis album guna menekan biaya produksi, maka di situlah band indie berkreasi. 

Seperti namanya, indie merupakan sebuah gerakan bermusik independen alias tak bergantung pada sebuah label rekaman. Maka itu, jangan heran jika band indie kerap mengabaikan selera pasar yang menjadi acuan bisnis rumah produksi musik.

Ada beberapa band indie Bandung yang kerap meluncurkan karyanya lewat rilisan kaset pita. Misalnya Mocca, band indie yang lahir di Bandung pada 1997 itu pernah merilis album berjudul Colours dengan medium kaset pita. Ia pun dikenal tak pernah absen menggunakan kaset pita dalam tiap rilisan albumnya.

Colours dibikin setelah mereka berkarier selama satu dekade, atau pada 2007. Meski demikian, mereka tetap merilis album tersebut dengan medium Compact Disc (CD) demi menjawab kebutuhan konsumen lainnya.

Strategi yang sama pula dilakukan oleh band-band indie lainnya, seperti Pure Saturday, Komunal, Jeruji, dan The Sigit. Kehadiran para musisi indie ini pula diyakini menjadi salah satu alasan mengapa pecinta musik masih merawat pemutar kaset pita di kamarnya. 

3. Matinya gerai kaset pita

Begini Cara Anak Bandung Menebus Kerinduan pada Kaset PitaDailysocial.id

Seandainya gerai penjualan kaset pita masih menjamur seperti yang terjadi pada medio 1990-an, mungkin Festival Kaset Bandung tak akan pernah terselenggara. Festival itu ramai dikunjungi karena tak banyak lagi gerai yang menjual kaset pita. 

Di medio 1990-an, Toko Musik Aquarius di Jalan Ir. H. Djuanda, Bandung, tak pernah sepi pengunjung. Pecinta musik diizinkan berlama-lama berada di toko untuk melihat-lihat atau sekedar meninjau album terbaru dari musisi tercintanya. Antrean mengular pengunjung menjadi pemandangan yang tak asing lagi, baik di depan pemutar kaset mau pun meja kasir.

Tapi saat ini toko tersebut terlah beralih fungsi menjadi gerai layanan provider Tri. Kematian Toko Musik Aquarius di Bandung merupakan zoom in dari dampak berkembangnya teknologi pemutar musik. Pascatahun 2000, Indonesia memasuki zaman CD di mana alat pemutarnya—baik CD player mau pun Compact Disc Digital Video (VCD) player—mulai dijual dengan harga yang ramah. 

Artinya, masyarakat sudah mulai ogah membeli kaset pita. Dalam tahap ini, toko musik masih mampu bertahan dengan memperbanyak stok CD dan VCD dibanding kaset pita. 

Namun masa itu tak bertahan lama. Gaduhnya pembajakan dan mudahnya mendapatkan musik dengan mengunduh secara ilegal, membuat masyarakat semakin emoh belanja kaset, CD, dan VCD. Akhirnya, saat ini, jumlah gerai musik di Bandung bisa dihitung jari.

Baca Juga: Sering Jadi Mainan Masa Kecil, Ini 10 Hal Unik dari Kaset Pita

Persiana Galih Photo Writer Persiana Galih

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya