Lembaga Riset Ungkap Pertalite Lebih Banyak Dinikmati Masyarakat Mampu

Pengalihan anggaran subsidi perlu segera dilakukan

Jakarta, IDN Times – Kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) selama ini dinilai tidak efektif dalam menurunkan angka kemiskinan. Salah satu alasannya adalah karena praktik yang salah sasaran, seperti BBM subsidi jenis Pertalite yang masih lebih banyak dinikmati oleh masyarakat mampu.

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Mengurai Polemik Kenaikan BBM Bersubsidi” yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Jakarta, Rabu, 14 September 2022 lalu.

1. Subsidi dinikmati 80 persen masyarakat mampu

Lembaga Riset Ungkap Pertalite Lebih Banyak Dinikmati Masyarakat MampuIlustrasi mengisi BBM. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Dalam kesempatan itu, Komaidi mengurai data yang diperoleh lembaganya bahwa sepanjang 2022 pemerintah telah menganggarkan subsidi energi yang amat besar, mencapai Rp502 triliun. Sayangnya, dana itu lebih banyak habis untuk menyubsidi BBM yang 80 persennya dinikmati masyarakat mampu.

Ia mencontohkan pada BBM subsidi jenis Pertalite, yang sebanyak 70 persen atau 20,3 juta kiloliter (KL) per tahun, dikonsumsi oleh kendaraan roda empat. Sedangkan kendaraan roda dua hanya menggunakan sebanyak 8,7 juta KL per tahun, atau sekitar 30 persen. Rata-rata konsumsi BBM kendaraan roda dua adalah 2,5 liter sekali transaksi, berbeda jauh dengan kendaraan roda empat yang mencapai 23,5 liter sekali transaksi.

Baca Juga: Harga Pertamax Bakal Turun Lagi? Ini Jawaban Pertamina

2. Perlunya pengalihan anggaran subsidi

Lembaga Riset Ungkap Pertalite Lebih Banyak Dinikmati Masyarakat MampuIlustrasi pengisian BBM di SPBU. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Oleh karena itu, Komaidi menilai sudah saatnya untuk mendukung pengurangan anggaran subsidi BBM dan dialihkan pada anggaran yang betul-betul dibutuhkan masyarakat miskin. Beberapa di antaranya adalah bantuan langsung tunai, serta peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan.

“Kalau roda empat yang mengonsumsi Pertalite itu angkutan umum kita bisa terima. Karena masyarakat bawah yang tidak punya mobil naik angkutan umum. Tapi faktanya dari 20,3 juta KL konsumsi roda empat itu, sebagian besar atau 98,7 persennya adalah mobil pribadi. Angkutan umum hanya 0,4 persen, taksi online 0,6 persen, dan taksi 0,3 persen. Yang punya mobil pribadi kan orang mampu,” ujar Komaidi.

3. Pemerintah perlu kawal harga BBM

Lembaga Riset Ungkap Pertalite Lebih Banyak Dinikmati Masyarakat MampuMobil tangki sedang mengisi BBM di Terminal BBM. (dok. Pertamina Patra Niaga)

Terkait dengan potensi naiknya harga-harga barang akibat kenaikan harga BBM bersubsidi, Komaidi menilai harus ada pengawalan tersendiri dari pemerintah. Harga energi hanyalah sebagian kecil dari komponen penentu harga barang. Komponen terbesar penentu harga barang adalah harga bahan baku yang mencapai 79 persen. Selain itu, komponen terbesar lainnya adalah upah tenaga kerja.

“Ini kalau tidak dikawal oleh pemerintah, pelaku usaha akan menaikkan harga barang seenaknya, dengan alasan harga BBM naik. Pengawalan ini harus detail di semua lini, dan jelas hitungannya. Domain terbesarnya ada di Kementerian Perdagangan. Kebijakan pengawalan kenaikan harga barang ini dilakukan semua negara. Contohnya di Malaysia, kalau dalam menaikkan harga barang pengusaha tidak mau ikut ketentuan pemerintah, maka bisa dicabut izin usahanya,” pungkas Komaidi. (WEB)

Baca Juga: Jokowi Bagikan BLT BBM di Kepulauan Aru: Sudah 8 Juta Orang Menerima

Topik:

  • Evan Yulian Philaret
  • Ezri T Suro

Berita Terkini Lainnya