ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Dikutip dari laman Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SeJuK), Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan menilai RKUHP masih bermasalah, baik dari segi substansi ide norma maupun redaksi norma, terkhusus dalam pasal-pasal pidana terkait keagamaan.
Karena itu, Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan mendesak Pemerintah RI dan DPR RI memperbaiki rumusan RKUHP.
Ketua YLBHI Asfinawati menilai, keberadaan delik-delik pidana keagamaan ini berpotensi menimbulkan kecurigaan di masyarakat, segregasi sosial, meningkatkan tindakan intoleransi, dan merusak hubungan kerukunan antar-umat beragama.
Menurut Asfinawati pengaturan pidana yang didasarkan hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat (Pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP), adalah bentuk pembangkangan terhadap negara hukum yang mengandaikan kepastian hukum untuk mencapai keadilan.
"Maka yang akan terjadi adalah situasi ketidakpastian dan kesewenang-wenangan hukum. Ketentuan ini akan menimbulkan masalah besar overkriminalisasi (kriminalisasi yang berlebihan), hingga tindakan persekusi,” kata dia.
Asfinawati memaparkan, ketentuan Pasal 313 sampai Pasal 318 RKUHP yang dikelompokkan sebagai “Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”, telah menjadikan agama sebagai subjek perlindungan hukum pidana.
"Selain itu, bila agama dijadikan sebagai subjek perlindungan hukum pidana, maka akan menimbulkan konflik dalam internal umat beragama,” ujar dia.
Selain itu, masih diaturnya ketentuan hukum pidana penghinaan agama (dalam Pasal 313 dan 314 RKUHP) menunjukkan pemerintah justru memelihara konflik keagamaan. Ada banyak riset baik nasional dan internasional, yang menyatakan salah satu penyebab utama maraknya tindakan intoleransi dan persekusi di masyarakat adalah masih eksisnya aturan pidana penghinaan agama, yang kini masih terdapat dalam RKUHP.
Lebih jauh lagi, Asfinawati mengatakan, pengaturan pidana perusakan-pembakaran rumah ibadah, benda yang dipakai ibadah, dan pidana perusakan benda suci keagamaan dalam Pasal 318 ayat 2 dan Pasal 503 ayat 1 RKUHP, adalah pengaturan hukum yang berlebihan, tumpang tindih, dan tidak diperlukan.
"Bila pun ada tindakan pembakaran, pencurian, atau perusakan, semestinya tetap mengacu pada ketentuan pasal pidana pembakaran, pencurian, dan perusakan biasa. Selain itu, tidak ada ukuran dan batasan yang jelas dengan apa yang dimaksud sebagai 'benda yang dipakai ibadah', 'benda suci keagamaan', dan sebagainya. Hal ini berpotensi menimbulkan multitafsir dan kesewenang-wenangan dalam penerapan hukum,” papar dia.