Ilustrasi siswa sekolah (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)
Menurut Unifah, RUU Sisdiknas cenderung menyimplifikasi persoalan pendidikan yang sangat kompleks. Salah satunya berkaitan dengan tata kelola guru. Dia menjelaskan tata kelola guru saat ini dilaksanakan oleh aktor yang berbeda-beda bahkan dengan bertentangan antara satu institusi dengan lainnya.
Misalnya program pengembangan guru untuk sekolah swasta, negeri, dan madrasah. Tenaga pengajar di tiga jenis sekolah itu juga harus melewati tahapan berbeda untuk menjadi guru di sekolah.
“Ini mengakibatkan peranan dan eksistensi guru semakin terabaikan. Transformasi menuju sistem pembelajaran yang bermutu terganjal oleh tata kelola guru yang terfragmentasi,” tutur dia.
Selain itu, menurut Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (HISMINU) Arifin Junaidi, RUU Sisdiknas berpotensi melemahkan pendidikan di madrasah karena tak menyebut nomenklatur “madrasah” dalam draftnya.
Padahal madrasah merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan nasional. Dia justru heran mengapa peran madrasah malah diabaikan oleh pemerintah.
“Alih-alih memperkuat integrasi sekolah dan madrasah, draft RUU Sisdiknas malah menghapus penyebutan madrasah,” ujar Arif.
Keberadaan madrasah dinilai sudah lebih baik diatur dalam Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003. Meskipun pada praktiknya peraturan sekolah madrasah masih ditentukan oleh pemerintah daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah (Otda).
Selain itu, keberadaan RUU Sisdiknas juga dinilai bisa melemahkan dukungan pemerintah pada sekolah swasta. Sebabnya dalam Pasal 55 ayat 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebut lembaga pendidikan berbasis masyarakat (swasta) dapat memperoleh bantuan teknis berupa subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dari pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah.
Aturan itu justru tak tercantum dalam draf RUU Sisdiknas yang dirancang oleh Kemendikbudristek saat ini.