Ilustrasi pilkada. (IDN Times)
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), salah satu musuh utama dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, baik nasional maupun lokal di Indonesia adalah praktik politik uang.
Dikutip dari laman ICW, istilah politik uang dimaksudkan sebagai praktik pembelian suara pemilih oleh peserta pemilu, maupun oleh tim sukses, baik yang resmi maupun tidak, biasanya sebelum pemungutan suara dilakukan.
Dengan politik uang, pemilih kehilangan otonominya untuk memilih kandidat pejabat publik melalui pertimbangan rasional, seperti rekam jejak, kinerja, program maupun janji kampanye, karena memilih kandidat hanya karena pemberian uang belaka. Jenis politik uang ini yang secara umum diatur undang-undang, termasuk Undang-Undang Pilkada.
Meskipun sudah diatur, tetapi efektivitas pemberantasan politik uang masih diragukan. Padalah, politik uang telah merusak sistem demokrasi pemilu dan membuat pemilu menjadi tidak kredibel.
Hasilnya banyak pejabat publik yang terpilih karena pengaruh suap kepada pemilih daripada karena faktor objektif sebagaimana telah disebutkan diatas. Karena itu, banyak pejabat daerah hasil pilkada terjerat kasus korupsi setelah menjabat.
Sementara itu, dalam proses penentuan kandidat, politik uang juga disebut marak terjadi. Istilah yang lebih umum adalah candidacy buying. Dalam praktek candidacy buying, partai politik atau elite partai politik meminta sejumlah uang kepada kandidat agar bisa dipilih sebagai kandidat resmi, dan mendapatkan rekomendasi dari partai politik.
Pada kasus yang lain, kandidat memborong dukungan partai politik agar partai politik tidak mengajukan kandidat lain sebagai lawannya. Kendati, apa yang kerap disebut sebagai mahar politik, tidak mudah diungkap secara hukum.
Belajar dari pengalaman Pilkada sebelumnya, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu sulit menghadapi hantu pemilu bernama politik uang. Meskipun regulasinya telah diperbaiki, di mana pemberi maupun penerima uang bisa dipidana, tetapi masalah pembuktian secara hukum merintangi proses penegakannya.
Untuk gelaran Pilkada 2024, ICW memberikan catatan terhadap laporan dana kampanye Pilkada 2024. Mereka menilai laporan tidak transparan, mempersempit ruang pengawasan publik, dan terindikasi tidak jujur, sehingga membuka ruang pendanaan gelap dalam kontestasi Pilkada.
Dalam catatannya, ICW menyoroti soal dana kampanye pasangan calon kepala daerah. Menurut ICW telah menjadi rahasia umum kandidat dalam Pilkada kerap mendapatkan sumbangan dari pihak-pihak tertentu, misalnya para pebisnis.
Itu karena ongkos politik dalam Pilkada sangat tinggi dan kandidat membutuhkan sumber daya untuk memenangkan kontestasi. Di sisi lain, dengan memberikan sumbangan, pebisnis berkepentingan untuk mendapatkan konsesi dan proyek-proyek negara.
Hasil penelusuran ICW yang dilakukan pada 18 hingga 21 November 2024, menunjukkan hanya terdapat 13 dari total 103 kandidat yang sumbangan kampanyenya didominasi individu. Sehingga laporan tersebut menurut ICW tidak jujur.
Lebih buruk, para individu pemberi sumbangan tersebut tidak dapat diketahui identitasnya. Dalam portal laporan dana kampanye yang dikelola KPU, infopemilu.kpu.go.id, informasi penerimaan sumbangan dan pengeluaran dana kampanye hanya menampilkan tanggal dan nominal. ICW menilai hal ini sebagai pintu masuk pendanaan gelap dari para cukong.
Keberadaan dana kampanye, menurut ICW, menjadi salah satu elemen penting dalam pelaksanaan Pilkada. Sebab dana inilah yang akan digunakan untuk menyokong berbagai kegiatan kampanye masing-masing pasangan calon.
Tak hanya itu, pelaporan dana kampanye juga penting sebagai instrumen pengawasan, guna mencegah intervensi pihak tertentu yang ingin mengkooptasi proses pembentukan kebijakan melalui politik balas budi, sekaligus untuk mengawasi penyalahgunaan dana kampanye untuk tindakan ilegal yang dapat mencederai integritas pemilu seperti politik uang.
Sayangnya, ICW menilai, KPU masih membatasi akses publik terhadap informasi dana kampanye para kandidat. Dalam portal yang KPU kelola, hanya terdapat Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) yang mencakup penerimaan dan pengeluaran, serta penerimaan sumbangan dan pengeluaran dana kampanye.
Dalam hal penerimaan sumbangan, portal ini hanya mencantumkan sumbangan dalam bentuk uang, barang, dan jasa yang bersumber dari pasangan calon, partai, dan pihak lain perseorangan. Sedangkan sumbangan dari badan swasta tidak dicantumkan.
Selain itu, KPU tidak serius merespon ketidakjujuran kandidat dalam melaporkan dana kampanye. ICW mendapati setidaknya 14 paslon yang mencantumkan penerimaan dan pengeluaran dalam LADK sebesar Rp0. Serta terdapat 33 paslon yang total pengeluarannya masih sebesar Rp0.
ICW menilai tidak mungkin para kandidat belum mengeluarkan dana sepeser pun untuk membiayai kampanyenya. KPU tidak melakukan langkah yang patut terhadap hal tersebut.
Dugaan kuat atas pelaporan dana kampanye yang tidak dilakukan secara serius ini juga diperkuat dengan rerata penerimaan sumbangan kandidat yang hanya berkisar pada Rp3,8 miliar.
Sedangkan taksiran biaya yang perlu dikeluarkan kandidat dalam pemilihan skala gubernur menurut KPK pada 2020 saja berkisar antara Rp20 miliar hingga Rp100 miliar. Adanya perbedaan nominal yang sangat jauh ini mengindikasikan apa yang dilaporkan para kandidat tidak mencerminkan ongkos politik yang riil.
Di lain sisi, dominasi sumbangan dari paslon menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kontribusi dan peran partai dalam mendukung pendanaan para kandidat. Sebab minimnya dukungan dari partai politik juga dapat berimbas pada kandidat yang mencari sumber pendanaan secara ugal-ugalan, hanya demi dapat mengumpulkan dana yang besar bagi pencalonannya.
Bukan tak mungkin, petahana yang mencalonkan kembali juga pada akhirnya menyalahgunakan kewenangannya untuk mengumpulkan modal pencalonan. Contoh kasus terbaru adalah Rohidin Mersyah, petahana Gubernur Bengkulu yang terjaring OTT KPK karena diduga memerintahkan anak buahnya untuk mengumpulkan uang hasil korupsi yang akan digunakan dalam pencalonannya.
Di sisi lain, minimnya dukungan partai dalam pendanaan kampanye kandidat juga semakin mempersempit ruang partisipasi warga untuk maju dalam kontestasi Pilkada. Sebab, hanya individu yang sudah memiliki sumber daya besar sejak awal, yang akan lebih mudah mencalonkan diri. Alhasil, hal ini juga bermuara pada munculnya kandidat-kandidat yang terafiliasi dinasti politik atau dengan pebisnis.
Karena itu, ICW meyakini perombakan regulasi secara menyeluruh terkait pelaksanaan pelaporan dana kampanye, mekanisme audit, hingga tata kelola partai politik sangat diperlukan, guna mewujudkan asas demokrasi yang sesungguhnya dalam pelaksanaan Pilkada 2024.