Jakarta, IDN Times - Sosiolog bencana dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir, menilai program Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di area Jawa-Bali yang dimulai sejak 11 Januari 2021 bak proyek gagal. Selain diberlakukan setelah warga menghabiskan waktu libur akhir tahun 2020, terbukti tak menekan penularan virus Sars-CoV-2.
Saat PPKM masih diberlakukan, jumlah kasus COVID-19 malah menembus angka 1 juta. Bahkan angka kematian akibat penyakit itu justru sering mencetak rekor baru. Terbaru pada Kamis, 28 Januari 2021 lalu, angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia mencapai 476. Kini total angka kematian di Indonesia sudah menembus angka 30.277.
Oleh sebab itu, Sulfikar mengusulkan agar pemerintah kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ketat untuk area Jawa dan Bali selama 60 hari. Menurutnya, selama PPKM, mobilitas warga tergolong tinggi. Sementara, data epidemiologis menunjukkan pembawa virus Sars-CoV-2 adalah manusia. Artinya, bila mobilitas manusia tidak dicegah, maka penularan akan terus terjadi.
"PPKM ini kan diterapkan secara tidak konsisten. Dari segi intervensi sosial penanganan pandemik, campur tangan pemerintah tidak terlalu dalam karena pemerintah tidak membatasi pergerakan manusia," ungkap Sulfikar ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Senin (1/2/2021).
Konsep yang diusulkan oleh Sulfikar terbagi ke dalam dua kelompok besar yakni "push" dan "pull". Dalam kelompok "push", ia mendorong agar pergerakan manusia dihentikan selama dua bulan.
"Pekerja yang bekerja di sektor swasta 100 persen bekerja dari rumah dan 80 persen pekerja untuk sektor publik. Lalu, pusat perbelanjaan dan fasilitas publik ditutup. Aktivitas belajar pun 100 persen dilakukan dari rumah," ujarnya.
Tapi, apakah strategi ini terbukti ampuh untuk mengendalikan pagebluk?