Partai Buruh resmi usung Anies Baswedan maju Pilkada DKI Jakarta (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut, Partai Buruh yang diwakili oleh Said Salahudin menyatakan, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip keadilan pemilu karena tidak memberikan hak pencalonan yang setara bagi seluruh parpol peserta pemilu.
"Pandangan Partai Buruh ini sejalan dengan pokok pikiran Hakim Konstitusi dalam dissenting opinion pada Putusan No. 53/PUU-XV/2017, yang pada dasarnya menegaskan bahwa pasal a quo telah dengan jelas merugikan dan sangat jauh dari rasa keadilan bagi partai politik yang tidak diberi kesempatan mengajukan calon presiden maupun wakil presiden hanya karena tidak memiliki kursi atau suara pada pemilu sebelumnya," ujar Said.
Terkait pengujian Pasal 222 yang diajukan oleh Pemohon, Partai Buruh berpandangan bahwa kebijakan hukum ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) perlu direkonstruksi. Partai Buruh memiliki tiga alasan presidential threshold harus diubah.
Pertama, presidential threshold sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 UU Pemilu seharusnya dimaknai sebagai syarat keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden, bukan sebagai pencalonan. Hal ini didasarkan pada praktik ketatanegaraan yang umum diterapkan di negara-negara yang menggunakan sistem presidential threshold.
Kedua, lanjut Said, Partai Buruh menilai persyaratan ambang batas pencalonan presiden yang didasarkan pada perolehan suara atau kursi parpol di DPR, pada dasarnya merupakan praktik anomali dalam skema presidensial. Secara teoritis, basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen dalam sistem presidensial adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda.
Terhadap argumentasi yang ketiga, Said menjelaskan, Partai Buruh juga berpandangan, presidential threshold yang dimaknai sebagai syarat pencalonan Presiden semestinya tidak diperlukan lagi karena tujuannya untuk menghadirkan sistem kepartaian sederhana dan dalam rangka menggalang dukungan mayoritas dari parlemen terhadap presiden dan wakil presiden terpilih, akan secara otomatis terlaksana dari hasil pemilu serentak. Adanya pemilu serentak sebenarnya sudah merupakan langkah dan upaya untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial.
"Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, Partal Buruh berpendapat pemaknaan Presidential Threshold untuk konteks Indonesia semestinya merujuk pada pengertian ketentuan Pasal 6A ayat 3 dan ayat 4 UUD NRI 1945, yang menentukan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden," ujar Said.
Sementara, Hanura yang diwakili oleh Steven Alves Tes Mau beralasan pengaturan ambang batas jelas membatasi pemenuhan hak konstitusional (constitusional right) dari partai politik peserta Pemilu yang telah memperoleh suara sah dalam Pemilu meskipun tidak mendapatkan kursi di DPR. Hal ini juga mengurangi nilai pemilihan umum yang demokratis. Sebab, jumlah suara sah hasil pemilihan umum partai politik menjadi hilang dan sia-sia.
Menurut Steven, sistem pemilihan demokratis mestinya membuka ruang kepada semua parpol peserta Pemilu, baik yang mendapat kursi di DPR maupun parpol non-parlemen memiliki jumlah suara sah untuk mengajukan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini dalam rangka menghormati kemurnian suara rakyat yang telah memilih dalam Pemilu dan tentunya juga ada pilihan alternatif dan/atau pilihan beragam bagi masyarakat.