Jakarta, IDN Times - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia memberikan catatan kritis terkait proses pembahasan revisi undang-undang TNI. Mereka menilai sejak awal proses legislasi revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 mengenai TNI (UU TNI) ini tidak sah.
Sebab, sejak awal revisi UU TNI tidak masuk agenda Program Legislasi (Prolegnas) 2025. Namun, tiba-tiba masuk dalam pembahasan RUU Prioritas pada rapat paripurna 18 Februari 2025.
"Perubahan agenda atau acara rapat tersebut tidak dilakukan melalui mekanisme sesuai dengan Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020, mengenai tata tertib DPR, di mana bila ada perubahan acara rapat, maka perlu diajukan secara tertulis dua hari sebelum acara rapat dilaksanakan," demikian isi keterangan tertulis PSHK Indonesia dan dikutip pada Kamis (20/3/2025).
Di sisi lain, UU TNI dinilai tidak memiliki urgensi untuk diamandemen. Sejumlah aturan seperti pembentukan RUU Peradilan Militer, RUU Perampasan Aset atau RUU Masyarakat Hukum Adat dinilai lebih penting dan mendesak disahkan.
"Pertimbangan perubahan terhadap prolegnas 2025 secara tertutlis dibutuhkan untuk menjadi dasar pengambilan keputusan agar tetap tercapai prinsip akuntabilitas," katanya.
Selain itu, revisi UU TNI tidak melalui sosialisasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Hal itu tertuang dalam Pasal 66 huruf I Tatib DPR.
"Ini merugikan publik, apalagi pembahasan dilakukan begitu cepat dalam satu masa sidang. Kelalaian pelaksanaan tugas tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab Baleg DPR," tutur PSHK Indonesia.