Meski Ditolak Publik, DPR Tetap Bakal Sahkan Revisi UU TNI

- Pemerintah dan DPR bakal mengesahkan revisi UU TNI pada Kamis (20/3/2025).
- Sidang paripurna dijadwalkan berlangsung pukul 09.30 WIB, sebelum anggota parlemen reses.
- RUU TNI akan disahkan tanpa dwifungsi, namun aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh Indonesia menolak pengesahan tersebut.
Jakarta, IDN Times - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memilih tetap bakal mengesahkan revisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Kamis (20/3/2025). Padahal, hingga saat ini publik masih belum bisa mengakses draf revisi UU TNI terbaru.
Undangan sidang rapat paripurna nomor B/4295/LG.01.01/3/2025 sudah beredar luas di media sosial. Sidang paripurna dijadwalkan berlangsung pukul 09.30 WIB. Ini menjadi sidang III 2024-2025 sebelum ratusan anggota parlemen memasuki masa reses dan kembali ke daerah pemilihan usai libur Idulfitri.
"(RUU TNI) akan disahkan Kamis, naskah (UU) setelah paripurna," ujar Wakil Menteri Sekretaris Negara, Bambang Eko Suhariyanto,di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (18/3/2025).
Rencana pengesahan RUU TNI itu bakal diwarnai aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh Indonesia. Mereka menolak pengesahan RUU TNI karena khawatir bakal membuka pintu untuk membangkitkan dwifungsi TNI. Artinya, TNI dikerahkan untuk mengurusi isu lain di luar sektor pertahanan.
1. Menkum Supratman menegaskan tak ada dwifungsi TNI di revisi UU TNI

Sementara, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menegaskan tidak ada dwifungsi di dalam revisi UU TNI. Menteri dari Partai Gerindra itu mengatakan poin yang dibahas di dalam revisi UU TNI menyangkut tugas-tugas pertahanan TNI. Dia mengatakan, kekhawatiran masyarakat tentang dwifungsi TNI sudah didengar pemerintah dan DPR.
Sementara, dijelaskannya, jumlah pasal yang direvisi hanya ada tiga yakni pasal 3, pasal 47 dan pasal 53.
"Kekhawatiran tadi menyangkut soal kembalinya peran dwifungsi TNI ataupun ABRI di dalam revisi UU TNI sama sekali enggak terlihat," ujar Supratman pada kemarin di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat.
2. Pembahasan revisi UU TNI tidak terbuka dan terburu-buru

Sementara, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan sejak awal pembahasan RUU TNI, mereka kesulitan untuk mengakses naskah drafnya. Dia mengaku memperoleh draf RUU TNI versi pembahasan 18 Maret 2025 dari forum tak resmi.
"Masalahnya draf RUU TNI itu, kami tidak pernah dapat. Makanya, saya sempat berdebat dengan teman saya 'ini draf resmi RUU TNI-nya yang mana?' Karena kami pun akhirnya dapat naskah draf itu dari WhatsApp. Normalnya draf RUU itu ada di situs DPR," ujar Bivitri kepada media di Jakarta.
Menurut Bivitri, tidak ada yang perlu dirahasiakan dari isi naskah RUU TNI. Sebab, itu merupakan undang-undang dan bukan strategi pertahanan.
"Proses legislasinya kita akui masih cacat dan ada problem besar di sana," tutur dia.
3. Tentara aktif berada di jabatan sipil jadi indikasi buruk menuju jalan Dwifungsi ABRI

Koalisi Masyarakat Sipil akhirnya menganalisis draf RUU TNI yang akan disahkan hari ini lewat jalur non-formal. Berdasarkan draf revisi per 18 Maret 2025, jumlah lembaga sipil yang boleh diisi prajurit TNI aktif tetap bertambah bila dibandingkan UU TNI yang masih berlaku sekarang.
Pada UU TNI yang sekarang berlaku, jumlah lembaga sipil yang boleh dimasuki prajurit TNI aktif ada 10. Sedangkan, dalam draf RUU TNI 2025 berjumlah 16. Kementerian atau lembaga tersebut di antaranya Kementerian Koordinator bidang politik dan keamanan negara, Kementerian Pertahanan (termasuk Dewan Pertahanan Nasional), Kesekretariatan Negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, Badan Intelijen Negara, Badan Siber dan atau Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, SAR Nasional, BNN, Mahkamah Agung, Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB), BNPT, Bakamla, Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP).
Padahal, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai seharusnya jumlah lembaga atau kementerian yang boleh dimasuki prajurit TNI aktif tidak bertambah. Melainkan, seharusnya lebih dibatasi. Bahkan, bila perlu tak dibolehkan sama sekali.
"Buat kami, ini bukan sekadar tawar-menawar angka. Mau 10 (kementerian atau lembaga), 15, 16 dan seterusnya. Tapi, persoalannya dilihat dari helicopter view, ketika tentara aktif, bukan yang bersedia mundur. Kalau itu, bisa kita diskusikan lagi. Tapi, tentara aktif bisa masuk di dalam jabatan-jabatan sipil sebenarnya adalah indikasi buruk kembalinya dwifungsi militer," ujar Bivitri.
Dia menggarisbawahi berdasarkan arsip yang dimilikinya, pada 2004 disepakati prajurit TNI aktif boleh mengisi jabatan sipil di 10 instansi merupakan bentuk kompromi. Idealnya tidak boleh ada prajurit TNI aktif di instansi sipil.
"Kalau pun ada mundur dulu dari TNI. Itu titik pembedanya. Ini harus dipahami karena sudah ada UU PSDM tahun 2019 yang memungkinkan adanya Komponen Cadangan, mengerjakan PSN (Proyek Strategis Nasional), mengerjakan food estate, hingga program makan bergizi gratis," tutur dia.