Jemaah haji gelombang pertama pemulangan dari hotel ke Tanah Air di Makkah, Arab Saudi, Selasa (10/6/2025). (Media Center Haji 2025)
Selain itu, Menag bersyukur ada sejumlah inovasi dan perbaikan penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Antara lain penurunan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). "Saya kira baru kali ini kita saksikan ada penurunan ya. Pencegahan praktik monopoli dengan multisyarikah. Pasti ada kelemahannya, karena ini kan baru ya."
"Tapi kita berkeyakinan insyaallah penyelenggaraan ibadah haji yang akan datang beradaptasi dengan sistem baru Saudi Arabia yang memang relatif sangat baru," sambungnya.
Pilihan penyembelihan dam tanah suci dan tanah air juga, kata Menag, sudah ditemukan jalan keluarnya. Pada 3 Juni lalu Amirulhaj diundang khusus oleh Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi yang mempertanyakan haji tamattu’ Indonesia yang harus menyembelih dam berupa kambing.
"Nah per hari ini kata beliau itu baru sekitar 800 orang, sementara jemaah haji Indonesia 203 orang. Taruhlah yang 200 ribu orang berkewajiban menyembelih hewan, nah kami ada kesulitan kalau Indonesia tidak segera melakukan pendataan. Ya karena pertama, kami harus meng-order kambing di Afrika, nah ada kesulitan menghadirkan kambing dalam jumlah besar dari Afrika, kemudian juga transportasinya," kata dia.
Di sisi lain, lanjut Menag, Makkah sangat padat dan juga di Arab Saudi ada Undang-Undang Karantina, di mana hewan yang masuk Saudi harus dikarantina. Kemudian juga soal teknis makanan, kandang, hingga penyembelihan.
"Makanan kambing Afrika itu sangat berbeda dengan di sini, kemudian pengandangan, penyembelihan, pengalengannya, dan itu perlu waktu yang sangat lama, karena kalau tiga hari itu bisa membusuk, dan itu gak bisa dikonsumsi," ujar dia.
Karena itu, kata Menag, Arab Saudi merekomendasikan Indonesia melakukan penyembelihan di tanah air jika memang merasa nyaman di tanah air. Selain itu, Menag juga menyampaikan adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa penyembelihan harus dilakukan di Makkah sepanjang tidak ada illat atau penyakit, cacat, seta ketidaksempurnaan.
"Nah kami merasakan di sini ada illat, ada reasons, misalnya kesulitan Arab Saudi mendatangkan kambing dalam jumlah besar, kemudian juga pasar-pasar kambing di sekitar Makkah hilang, karena itu disweeping tidak boleh ada penjual kambing," kata dia.
"Kemudian juga kolektor-kolektor dam terhadap jemaah itu dipidanakan, dipenjara, diekstradisi, tidak boleh menginjakkan kakinya di kota suci Makkah selama 10 tahun. Jadi sudah tidak ada lagi kolektor dam. Nah dalam posisi ini, Menteri Kerajaan Arab Saudi khawatir jangan-jangan tidak bisa menyelenggarakan damnya di sini," lanjut Menag.
Menag juga menyampaikan kesulitan lain misalnya soal adanya imbauan dari Kemenag, jemaah tidak boleh keluar hotel atau tenda pada pukul 10.00 hingga 16.00 WAS, sehingga jemaah tak ada waktu mencari kambing untuk dam.
"Nah, kapan waktunya kita mencari kambing? Membayar di tempat-tempat yang ditentukan, itu pun jumlahnya tidak banyak. Boro-boro mau mencari tempatnya, bahasa Arabnya tidak ada, tempatnya pun juga sangat langka," kata dia.
"Nah, di samping itu juga, kolektor-kolektor gak bisa masuk ke hotel, langsung ditangkap. Nah ini satu persoalan. Akhirnya kami diberi saran bagaimana kalau mencontoh negara-negara lain seperti di Mesir, ada fatwa dari Darul Iftah Mesir bahwa boleh menyembelih dam itu di negeri masing-masing, dan itu dilakukan di sejumlah negara lain juga," papar Menag.
Karena berbagai persoalan itu, kata Menag, akhirnya Kemenag berkeyakinan dari pada tidak membayar dam sama sekali karena kesulitan teknis, maka jemaah disarankan berikhtiar melakukan damnya di Indonesia.
"Dan itu juga ada petunjuk dari ulama-ulama lokal kita, misalnya sejumlah ormas yang membolehkan bayar dam di tanah air," kata Menag.