Puskapol UI Dorong UU Parpol Turut Direvisi Bareng UU Pemilu-Pilkada

Intinya sih...
Demokrasi di internal parpol jadi sorotan Hurriyah menilai, jika pemerintah dan DPR hanya berfokus pada revisi UU Pemilu saja, maka masalah lainnya tidak terselesaikan.
UU Parpol saat ini justru bikin parpol semakin elitis dan mengedepankan dinasti politik Hurriyah mengatakan, UU Parpol yang berlaku saat ini justru membuat parpol semakin elitis dan cenderung mengedepankan politik dinasti.
Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Puskapol UI, Hurriyah, mendorong agar pembentuk undang-undang (UU) dalam hal ini pemerintah dan DPR merevisi UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol).
Hal tersebut disampaikan Hurriyah saat menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan agar pemilu nasional dan daerah/lokal dipisah. Dampak dari putusan ini, UU Pemilu dan UU Pilkada harus segera direvisi. Namun, revisi UU Parpol juga diperlukan untuk semakin menguatkan kelembagaan partai politik.
"Kalau kita bicara dalam konteks kelembagaan politik ini juga menyebut saya menjadi PR besar kita bahwa yang perlu diperbaiki dalam rangka penguatan itu sistem presidensial, penguatan lembaga partai politik, penguatan pemilih itu harus dibarengi dengan reformasi kepartaian. Jadi agenda ke depannya pasca putusan ini memang kita perlu mendorong tidak hanya revisi UU Pemilu, tapi juga revisi UU Pemilu," kata dia dalam diskusi yang digelar daring, Jumat (27/6/2025).
1. Demokrasi di internal parpol jadi sorotan
Hurriyah menilai, jika pemerintah dan DPR hanya berfokus pada revisi UU Pemilu saja, maka masalah lainnya tidak terselesaikan. Terutama yang berkaitan dengan demokrasi di internal parpol.
Meski Putusan MK 135/2024 membawa angin segar terhadap demokrasi karena pemilih bisa mengenal luas kontestan yang akan berlaga dalam pemilu. Namun, kader masih tersandera kepentingan politis parpol yang lebih kuat.
"Karena kalau revisi uu pemilu saja tetapi UU Parpol-nya tidak direvisi saya kira persoalan klasik terkait dengan misalnya minimnya demokrasi internal di parpol termasuk di dalam pencalonan anggota legislatif ini akan tetap berdampak merugikan, terhadap kompetisi yang demokratis di antara parpol, termasuk keterwakilan perempuan," kata dia.
2. UU Parpol saat ini justru bikin parpol semakin elitis dan mengedepankan dinasti politik
Hurriyah mengatakan, UU Parpol yang berlaku saat ini justru membuat parpol semakin elitis dan cenderung mengedepankan politik dinasti. Ia menilai, fenomena ini mempersempit kesempatan yang adil bagi kelompok tertentu untuk ikut kontestasi pemilu. Salah satu contohnya, bagi perempuan untuk bisa memasuki ruang kompetisi yang adil dan setara.
UU Parpol ini juga menghasilkan pemerintahan koalisi gemuk. Dampaknya, mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and balance) pemerintahan tidak berjalan ideal.
"Lalu juga yang lain adalah partai politik juga menjadi sangat penting untuk didorong melakukan reformasi kelembagaan karena dampaknya terlihat dalam ketika kemudian Pemilu 2019 dan 2024 menghasilkan koalisi besar ada upaya untuk menguasai parlemen menguasai DPR dan melakukan intervensi lebih jauh," kata dia.
3. Berdampak pada rekrutmen penyelenggara pemilu
Lebih lanjut, kata Hurriyah, dengan koalisi parpol pendukung pemerintahan yang gemuk, intervensi terhadap rekrutmen penyelenggara pemilu juga terjadi. Akibatnya, integritas dan legitimasi gelaran pemilu dipertanyakan.
"Ini juga paling kelihatan adalah di rekrutmen penyelenggara pemilu. Artinya rekrutmen penyelenggara pemilu seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya kita mereformasi sistem pemilu di Indonesia. Bukan hanya soal technicality bahwa ada ketidaksesuaian antara masa jabatan penyelenggara pemilu dengan siklus pemilunya, tetapi yang lebih penting dari itu adalah menjaga independensi dan ini independensi ini sangat dipengaruhi oleh politik rekrutmen yang sangat kuat terutama terjadi di Pemilu 2019 dan di Pemilu 2024," kata dia.
Diketahui, MK mengabulkan sebagian permohonan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Pemilu. Dalam amar putusan yang dibacakan, MK menginstruksikan agar pemilu tingkat nasional dan daerah/lokal dipisah, dengan jeda paling cepat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan.
Adapun pemilu nasional itu meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota.
Dengan demikian, pemilu daerah baru diselenggarakan dua tahun atau dua tahun enam bulan setelah presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI dilantik.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK, Suhartoyo dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Kamis (26/6/2025).
"Menyatakan Pasal 167 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, 'Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional," ucap Suhartoyo.