Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Dua remaja berinisal JO dan JS mengalami persekusi oleh warga, saat ketahuan melakukan hubungan intim. Kedua remaja asal Desa Sekampung Udik, Lampung Timur ini juga dipaksa menikah, padahal masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyayangkan peristiwa yang terjadi pada Minggu, 9 Februari 2025. Sebab, usai digerebek mereka dinikahkan secara agama oleh pihak keluarga.

Sekretaris Kemen PPPA, Titi Eko Rahayu, menyatakan perkawinan usia anak punya banyak dampak negatif, seperti terancamnya kesempatan korban untuk tetap bersekolah.

"Kami prihatin dengan pergaulan remaja yang semestinya tidak dilakukan sebelum resmi menikah. Namun, di satu sisi kami juga sangat menyayangkan keputusan dari pihak keluarga yang mengambil jalan pintas untuk menikahkan para korban," kata dia dalam keterangannya, dikutip Selasa (18/2/2025). 

1. Korban hadapi risiko putus sekolah dan tidak bekerja

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) didukung oleh United Nations (UN) Women Indonesia tengah menyusun Laporan Nasional Beijing Platform for Action (BPfA) +30 (Dok. KemenPPPA)

Titi menjelaskan, perkawinan pada usia anak memiliki dampak negatif yang besar. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 anak perempuan yang menikah di bawah 18 tahun dapat meningkatkan risiko putus sekolah. Hal ini dapat menghambat perkembangan karier mereka di masa depan. 

"Selain itu, anak yang menikah di bawah usia 18 tahun cenderung tidak bekerja di sektor formal, dan pendapatan per jam mereka jauh lebih rendah dibandingkan jika mereka menikah pada usia 18 tahun atau lebih," kata dia.

2. Korban bisa alami trauma hingga depresi

Ilustrasi pernikahan dini. (IDN Times/Aditya Pratama)

Pernikahan paksa pada remaja menurut Titi juga akan berdampak psikologis yang serius, termasuk kecemasan, depresi, trauma, dan potensi masalah kesehatan mental jangka panjang. Sehingga, kata dia, hal ini seharusnya jadi pertimbangan orangtua. Faktor lain adalah ancaman konflik rumah tangga dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Dalam kasus ini, KemenPPPA telah koordinasikan dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Lampung, untuk memastikan para korban masih tetap melanjutkan pendidikan dan ada kerja sama yang baik dengan sekolah korban," kata dia.

Maka hal yang perlu menjadi perhatian adalah pemenuhan hak anak tetap dijamin, setelah dikawinkan dan mengalami persekusi. Mulai dari hak mendapatkan pendidikan, kesehatan (terutama kesehatan reproduksi dan akses terhadap informasi), serta pengawasan dari keluarga.

3. Pemaksaan perkawinan anak itu tindak pidana dan masuk kekerasan seksual

ilustrasi borgol (IDN Times/Mardya Shakti)

Titi juga menyatakan pemaksaan perkawinan merupakan salah satu bentuk tindak pidana, dan termasuk tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini telah disebutkan salam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang menjelaskan bahwa 

“Setiap orang yang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang dibawah kekuasaanya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain,dipidana karena pemaksaan perkawinan."

KemenPPPA, kata Titi, juga mengapresiasi gerak cepat Polres Lampung Timur yang menangkap pelaku penyebaran video korban. Dia minta agar masyarakat tidak menyebarluaskan video tersebut, karena akan menyebabkan trauma panjang pada korban dan mencegah stigma.

Editorial Team