Analisis Putusan MK Sengketa Pilpres 2024: Banyak Terobosan tapi...

MK dinilai masih ada pragmatisme

Jakarta, IDN Times - Sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2024 telar berlangsung Senin (22/4/2024). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan paslon 01 dan 03, meski muncul dissenting opinion atau perbedaan pendapat tiga hakim dari delapan hakim yang memutus perkara ini.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai pada putusan PHPU Pilpres 2024 MK banyak mengalami terobosan.

"Kalau melihat substansi putusan, saya boleh evaluasi pertama, secara prosedur hukum acara banyak mengalami terobosan putusan di Mahkamah Konstitusi hari ini," ujar Titi dalam talkshow virtual GenZMemilih bertema "Prabowo-Gibran Pasca-Putusan MK" yang disiarkan melalui platform Space X, Senin malam.

Baca Juga: Linimasa Sidang Putusan PHPU Sengketa Pilpres 2024 di MK

1. Secara prosedural MK banyak melakukan terobosan

Analisis Putusan MK Sengketa Pilpres 2024: Banyak Terobosan tapi...Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)

Titi mencontohkan terobosan yang dilakukan di MK di antaranya persidangan lebih tertib, dan lebih mampu memanajemen persidangan, sehingga lebih manusiawi dan persidangan tidak sampai tengah malam.

"Selain itu, dalam persidangan perselisihan pemilu tidak hanya memanggil pihak pemohon, terkait, saksi, dan ahli, untuk mendengarkan keterangannya. Kemarin memanggil empat menteri dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), itu sejarah baru pertama kali dalam praktik perselisihan Pilpres, Pileg, dan Pilkada," ujarnya.

Selain itu, para pihak pemohon dan terkait juga diberikan kesempatan memberikan kesimpulan. Terobosan lain dalam sidang kali ini juga masyarakat diberikan kesempatan menyampaikan Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan.

"Itu baru ada di Pilpres, Pileg, dan Pilkada tahun ini. Jadi banyak terobosan dalam hukum acara dan manajemen persidangan banyak diberikan Mahkamah Konstitusi. Nah, ini dari sisi prosedurnya ya," ujar Titi.

Tak hanya itu, Titi melanjutkan, terobosan lain dari sisi prosedural adalah terjadi dissenting opinion. Ini menjadi sejarah pertama kali selama persidangan perselisihan hasil Pilpres, Pileg, maupun Pilkada di Indonesia.

2. MK dinilai masih menyisakan pragmatisme

Analisis Putusan MK Sengketa Pilpres 2024: Banyak Terobosan tapi...Suasana sidang Putusan MK soal sengketa pilpres 2024 pada Senin (22/4/2024). (IDN Times/Aryodamar)

Kendati banyak terobosan dari sisi prosedural, Titi melihat, dalam persidangan perselisihan hasil pemilu, MK masih menyisakan pragmatisme.

"Meski pun di awal-awal persidangan, MK menyatakan persidangan perselisihan hasil pemilu bukan soal perselisihan angka-angka secara kuantitatif, tapi juga berorientasi kepada keadilan substansial," ujar Titi.

"Apalagi MK menegaskan antara Pemilu dan Pilkada tidak ada perbedaan. Kenapa itu menjadi isu, karena dalam praktiknya sidang perselisihan hasil Pilkada yang memutuskan untuk pemungutan suara ulang hal yang biasa," sambungnya.

Titi menjelaskan MK masih terjebak pada pragmatisme dari sisi keadilan substansial, karena pada awal persidangan MK melakukan terobosan luar biasa, misalnya dengan menerima Amicus Curiae dari masyarakat. MK juga mengakui dalam perselisihan pemilu banyak sekali persoalan bermunculan.

"Misalnya di awal Mahkamah menyatakan untuk menegakkan pemilu yang konstitusional yang sesuai dengan asas prinsip dalam Pasal 22e Ayat 1 UUD kita, Mahkamah mengatakan harusnya DPR melalukan pengawasan juga dong, dilakukan prekontrol dengan hak interpelasi, hak angket, yang bisa dilakukan untuk mengawal pemilu berlangsung jurdil (jujur dan adil)," ujarnya.

MK juga menyinggung institusi-institusi yang terlibat dalam pemiluan turut serta menjaga pemilu berjalan baik, supaya MK bukan sebagai keranjang sampah yang hanya menampung persoalan-persoalan kepemiluan yang tidak bisa diselesaikan oleh institusi yang ada.

"Nah, jadi sebenarnya dari sana sudah OK banget Mahkamah, yang menegaskan bukan hanya sebagai pengadilan kuantitatif tapi juga kualitatif, mendorong fungsi lembaga-lembaga kontrol yang ada dalam praktik pemilu, dan juga jangan sampai institusi-institusi formal berjalan tidak efektif," katanya.

Baca Juga: Cak Imin Sebut Pembubaran Koalisi Perubahan Usai Putusan MK

3. Ada masalah yang belum terjawab

Analisis Putusan MK Sengketa Pilpres 2024: Banyak Terobosan tapi...Titi Anggraini, Pakar Politik dan Pemilu dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)

Seperti pola-pola persidangan perselisihan pemilu sebelumnya, MK selalu menjawab semua dalil-dalil pemohon, sehingga putusannya sangat panjang. Dalam menjawab salah satu dalil pemohon, MK menyebutkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) belum bekerja secara komprehensif.

"Tapi kemudian ujung-ujungnya, MK memberikan toleransi dan menetralisir pelanggaran itu. Walaupun demikian para pemohon tidak berusaha membuktikan supaya Mahkamah memutuskan itu. Dia (MK) menyatakan dalil-dalil itu tidak terbukti secara hukum," kata dia.

Titi juga menggarisbawahi hal lain dalam putusan MK, seperti petahana yang sudah tidak mencalonkan kembali agar bersikap netral, dan juga distribusi bansos yang didalilkan memberikan dampak elektoral pada salah satu paslon. Kendati, kata dia, pada akhirnya MK menyatakan hal itu belum ada aturan yang jelas, hanya menyarankan agar ke depan aturan diperbaiki.

"Mahkamah tidak memberikan solusi hari ini. Jadi saya melihat dari dalil-dalil yang dijawab Mahkamah Konstitusi ada logika-logika yang melompat antara pengakuan persoalan yang bisa menyerang pemilu yang jujur dan adil, tapi kemudian dinetralisir oleh argumen 'ya aturannya belum ada'. Itu membutuhkan moralitas, etik, kerelaan, untuk bersikap netral. Jadi ada ruang bermasalah tetapi kemudian tidak terjawab. Ini yang terjadi dissenting opinion dari tiga hakim," paparnya.

Titi melihat dissenting opinion tiga hakim konstitusi menyadari adanya pelanggaran yang tidak bisa dijangkau hukum, namun konstitusi harus bisa ditegakkan, karena itu menyarankan agar digelar Pemungutan Suara Ulang (PSU). Pelanggaran itu misalnya soal distribusi bansos, ketidaknetralan kepala daerah, atau cawe-cawe presiden.

"Secara legal ini memperkokoh keputusan KPU, tetapi legitimasi dari hasil Pemilu 2024 itu tidak kokoh, tidak solid, karena akan ada pubik yang merujuk dissenting opinion tiga hakim sebagai basis dalam menilai hasil Pemilu 2024. Dan mungkin akan diikuti dinamika adanya eksaminasi, kritik, atau bahkan adanya Mahkamah Rakyat sebagai komparasi untuk memberikan penilaian dari kelompok-kelompok masyarakat. Di MK saja tidak kompak, dan itu hal yang normal, biasa saja, bukan hal yang merongrong atau mendeligitimasi," kata dia.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya