Duka di Balik Kebahagiaan Hari Raya Idul Fitri 1440 H

Satu per satu saudaraku meninggal dunia

Purbalingga, IDN Times - Siang itu keluargaku menyambut gembira dengan kedatanganku bersama istri dan kedua anakku. Lelah perjalanan mudik terbayarkan, meski rasa kantuk semakin menjadi, setelah begadang semalaman di jalan. Kakak perempuanku dan bibiku memeluk erat, menyiratkan rindu yang begitu berat.

Belum juga melepas lelah, azan zuhur berkumandang. Tanda aku harus bergegas salat Jumat. Untungnya masih ada sisa-sisa semangat mudik. Kondisi masjid belum banyak berubah dari tahun lalu. Hanya karpet hijau tua yang terus memudar dan menipis. Saking tipisnya, jidatku terasa perih saat sujud salat tahiyatul masjid. Salahku juga, niat mewakafkan karpet empuk untuk masjid Hidayatul Sibyan ini belum kesampaian juga sejak setahun lalu.

Hutbah jumat penutup Ramadan ini aku lewatkan. Aku tertidur pulas sepanjang khotib naik mimbar hingga ikomah. Saking malunya, aku tak sanggup menoleh ke jamaah lain. Usai salat jumat, aku ziarah ke makam ibu dan ayahku yang tak jauh dari rumah ibuku.

1. Libur lebih panjang Lebaran tahun ini

Duka di Balik Kebahagiaan Hari Raya Idul Fitri 1440 HIDN Times/Rochmanudin

Lebaran tahun ini bisa dibilang menjadi libur terpanjang selama aku bekerja 10 tahun terakhir. Biasanya paling banter 10 hari. Tapi tahun ini aku bisa libur hingga 15 hari, berkat kebijakan perusahaan dengan memberikan kelonggaran mengambil cuti hingga sembilan hari. Kebetulan aku punya banyak tabungan libur, jadi bisa dipakai saat momen liburan seperti ini.

Sejatinya, aku hanya mengambil cuti dua hari dari cuti tahunan ditambah tabungan ganti libur. Separuh hari libur bekerja di rumah. Beruntung, di perusahaan tempatku bekerja, ada namanya tabungan ganti libur, jika karyawan bekerja saat tanggal merah. Jadi kalau ditambah cuti tahunan 16 hari, lumayan kan, bisa buat jalan-jalan dari Miangas hingga Rote. Kebijakan perusahaan lainnya, karyawan bisa bekerja dari rumah jika ada keperluan mendesak atau saat momen libur hari besar.

Keberuntungan lain Lebaran tahun ini, aku bisa cuti lebih awal. Jadi bisa pulang mudik lebih awal dan menikmati momen-momen terakhir Ramadan bersama keluarga besar. Bisa merasakan buka puasa bersama saudara, kerabat, hingga teman kecil yang sudah lama tak bertemu. Bahkan, bersilaturahmi dengan saudara yang sudah hampir 10 tahun terpisah.

Tak ada makan siang gratis. Meski aku dan teman-teman sekantor dapat jatah libur Lebaran lebih panjang, bos tetap wanti-wanti permormance perusahaan tidak boleh menurun. Bagaimana pun caranya, prestasi tempatku bekerja harus terjaga selama karyawan berlibur.

"Pokonya performance harus dijaga. Jangan sampai yang empat bulan ini sudah tinggi jadi menurun," pesan bosku hari-hari jelang libur Lebaran, akhir Mei lalu.

Baca Juga: AHY: Lebaran Pertama Kalinya tanpa Ibu Ani, Kami Merasa Hampa

2. Hikmah di balik kemacetan Ibu Kota

Duka di Balik Kebahagiaan Hari Raya Idul Fitri 1440 HIDN Times/Rochmanudin

Tiga tahun terakhir ini aku tak pernah menghatamkan Alquran selama Ramadan. Alhamdulillah, bulan suci tahun ini aku berhasil menamatkan 30 jus di tengah kesibukanku. Ini semua berkat Allah SWT, yang menunjukkan cara yang unik saat aku naik bus Transjakarta. Ada keindahan di balik kemacetan Ibu Kota.

Singkatnya, suatu hari awal Ramadan lalu, aku dikejutkan dengan seorang pemuda yang berdiri di sebelah ku saat naik bus Transjakarta perjalanan dari rumah ke kantor: Cibubur, Jakarta Timur menuju Palmerah, Jakarta Barat. Pemuda itu tiba-tiba mengeluarkan Alquran dari tasnya dan membacanya saat kondisi penuh sesak penumpang.

Yang membuat ku heran pemuda itu membawa Alquran persis seukuran buku. Padahal, umumnya umat Muslim membaca Alquran berukuran kecil saat mereka berada di atas bus atau angkutan umum lainnya. Terlalu repot rasanya membawa Alquran seukuran itu. Memang sih, hanya perkara repot.

Saat itu pula, aku terlintas pertanyaan: kenapa aku harus membuang waktu sia-sia selama dua jam di atas bus perjalanan dari rumah ke kantor? Sejati nya, aku bisa memanfaatkan waktu luang selama perjalanan untuk membaca Alquran.

Keesokan harinya setelah melihat peristiwa itu, aku mencoba meniru membaca Alquran di atas bus menggunakan aplikasi di smartphone, dengan memperbesar ukuran huruf. Awalnya, aku ragu membaca Alquran di atas bus, karena selama ini kepalaku pusing setiap membaca buku di atas kendaraan.

Alhamdulillah, kepalaku tak pusing, meski sepanjang dua jam perjalanan dari kantor ke rumah tadarus Alquran. Yes, aku berhasil membaca dua jus sekaligus, setiap berangkat dan pulang kerja. Entah kenapa, ada semangat luar biasa untuk membaca Alquran selama Ramadan tahun ini. Padahal, biasanya setiap bulan suci aku lebih banyak tidur setiap ada waktu luang.

Pada ujung Ramadan, semangatku menghatamkan Alquran hampir mengendur karena waktu lebih banyak digunakan untuk persiapan dan perjalanan mudik. Belum lagi untuk mondar-mandir silaturahmi dengan saudara setiba di kampung. Tapi tekadku menamatkan Alquran lebih kuat. Walhasil, aku berhasil hatam pada menit-menit terakhir jelang buka puasa hari terakhir Ramadan. 

Sebenarnya aku tak ingin menuliskan pengalamanku yang satu ini, karena khawatir jadi ria dan dicap takabur. Tujuanku satu, berbagi kebaikan. Siapa tahu hal kecil ini bisa menular pada saudara-saudaraku yang se-Muslim. Tak lebih.

3. Menyaksikan pernikahan adik bungsuku

Duka di Balik Kebahagiaan Hari Raya Idul Fitri 1440 HIDN Times/Rochmanudin

Selain waktu libur lebih panjang dan menghatamkan Alquran, Lebaran tahun ini terasa lebih berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Karena adik laki-laki bungsuku berhasil meyakinkan calon mertuanya meminang anak perempuannya. Ya, setelah satu tahun mengenal perempuan idamannya itu, akhirnya dia resmi menikahi perempuan itu tiga hari setelah Lebaran.

Alhasil, menjelang Lebaran, aku dan keluarga besarku sibuk mengurusi persiapan pernikahannya. Meski pernikahan berlangsung sederhana, tetap saja menguras tenaga untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Beruntung lagi, pernikahan secara adat di kampungku kini mulai luntur, jadi tak banyak ritual yang harus dilakukan. Tapi budaya gotong-royong masih kuat.

Bicara pernikahan di kampungku, Desa Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah, tamu yang datang bisa saja warga sekampung. Karena warga di satu desa bisa mengenal warga desa-desa sekitarnya. Terang saja, pernikahan di kampung bisa berlangsung berhari-hari. Termasuk, pernikahan adik ku, dua hari jelang pernikahan, tamu-tamu sudah ramai berkunjung ke rumahku.

"Sebelum puasa orang-orang di sini sudah pada tahu Eyang Man mau hajatan," tutur bibiku, yang akrab disapa Eyang Man itu, dua hari jelang Lebaran.

Meski lelah, aku bersyukur banyak bersilaturahmi dengan sanak saudara di kampung halamanku, berkat pernikahan adikku. Karena hampir semua warga desa berduyun-duyun ke rumahku, jadi aku tak perlu banyak berkunjung dari pintu ke pintu.

4. Satu per satu kehilangan orangtua hingga saudaraku

Duka di Balik Kebahagiaan Hari Raya Idul Fitri 1440 HIDN Times/Rochmanudin

Sudah menjadi hukum alam, di balik kebahagiaan selalu ada kedukaan. Di tengah kebahagiaan bekumpul bersama keluarga saat merayakan Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriyah dan pernikahan adik ku, ada sederet sosok yang hilang dari pandanganku. Mereka telah meninggal dunia.

Desember 2018 lalu pamanku meninggal dunia, karena serangan jantung. Dia bisa dibilang sebagai sosok yang dituakan dalam urusan tentang Islam di keluargaku, sekaligus tokoh masyarakat di kampungku. Tapi Lebaran tahun ini tanpa kehadiran dia.

Aku kerap berdiskusi soal Islam dengan dia setiap kali aku mudik. Sosoknya yang humoris dan komunikatif, membuat ku betah berlama-lama ngobrol dengan dia semasa hidupnya. Warga sekitar juga menyukai saat dia ceramah di langgar-langgar, karena banyak diselingi guyonan dan gaya bahasa sederhana yang mudah dipahami.

Enam bulan sebelumnya, kakak tertua ibuku alias budek ku juga tutup usia akibat komplikasi. Aku sangat terpukul. Meski tuna rungu dan wicara, dia banyak disukai anak-anak, termasuk aku sendiri. Dia begitu menyayangi anak-anak semasa hidupnya. Ia juga pekerja keras dan pandai mengerjakan kerajinan tangan. Hampir semua pekerjaan rumah tuntas jika di tangan dia.

Kenangan yang tak bisa hilang dari ingatanku, dia selalu menyimpan makanan untuk ku saat aku masih kecil. Semua keluarga besarku juga pernah diasuh dia semasa kecil. Hatinya bersih. Hingga akhir hayat nya, dia tidak menikah.

April 2018, ibu mertuaku juga meninggal dunia, setelah berjuang melawan kanker paru stadium IV hampir dua tahun. Semasa hidupnya dia dikenal sosok penyabar dan pantang mengeluh. Selama melawan kanker, dia hampir tak pernah mengeluh sakit, meski berkali-kali menjalani terapi chemo.

Selain penyabar, ibu mertuaku juga sosok multitalenta. Mantan anggota Paskibraka pada 17 Agustus 1981 itu juga seorang aktivis sosial dan seniman. Sikapnya yang ramah, membuat dia memiliki banyak teman. Hingga akhir hayat nya dia masih aktif di sejumlah organisasi sosial dan keagamaan.

Oktober 2017, ayah mertuaku meninggal lebih dulu. Kepergian ayah mertuaku menjadi pukulan besar bagi keluargaku--khususnya ibu mertuaku yang sedang berjuang melawan kanker paru, karena tidak mengalami sakit apa-apa sebelumnya. Tapi dokter memvonis, bapak mertuaku meninggal akibat serangan jantung.

Sebelum keempat saudaraku meninggal, ibu dan ayahku meninggal lebih dulu pada 2013 dan 2016. Perempuan yang aku sebut-sebut ibu selama ini, tak lain adalah bibiku yang telah mengasuh ku sejak umur enam bulan. Kakek dan nenekku juga tutup usia pada 2012 dan 2015.

Sedikit riwayat kakekku, ia selalu mengajarkan ku tentang agama dan kedisplinan. Berprofesi sebagai pedagang dan petani, dia selalu menjaga ketaatan pada syariah Islam. Meski dibilang fakir ilmu tentang Islam, tapi dia selalu mengamalkan dengan baik apa yang telah ia pelajari.

Salat malam tak pernah ia tinggalkan, dan selalu melaksanakan salat berjamaah di masjid, meski kondisi sakit. Sesibuk apapun dia tetap salat berjamaah di masjid. Bahkan, hingga akhir hayatnya dia masih rajin belajar tentang Islam dan selalu membawa buku catatan ke mana pun dia menghadiri pengajian. Yang jadi favorit ku adalah ketika dia bercerita zaman penjajahan Belanda yang tak jarang diselingi bahasa Belanda. Semua tinggal kenangan.

Makam seluas sekitar 20 meter persegi itu pun kini semakin penuh. Satu jam sudah aku berada di pusara orangtua dan keluargaku. Satu per satu aku singkirkan rumput dan dedaunan yang mengering di atas nisan mereka, dan lekas meninggalkan kuburan itu.

Tapi aku tak mau larut dalam kedukaan, aku menganggap ini semua sebagai pelajaran hidup yang berharga. Karena Allah SWT pasti punya rencana lain di balik peristiwa ini semua, seperti ucapan Albert Einstein, "Tuhan tidak bermain dadu."

Menurut Einstein, hanya ada dua cara untuk mengisi hidup, yaitu mengisi dengan berpikir semua yang ada adalah mukjizat, atau mengisi hidup dengan berpikir tidak ada mukjizat apapun dari semua yang ada.

Baca Juga: Ternyata Ini Asal Usul Kata "Mudik" dan "Lebaran"

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya