Jalan Terjal PDIP di Tengah Kuatnya Tradisi Islam Masyarakat Sumbar

Megawati mengakui kader PDIP banyak tantangan di Sumbar

Jakarta, IDN Times - Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, menyampaikan pesan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, saat konsolidasi kader partai se-Sumatra Barat, di kantor DPD PDIP Sumatra Barat, di Kota Padang, Sabtu (2/7/2022) malam.

Pesan Megawati untuk para kader Sumbar agar mereka lebih kuat berjuang di ranah Minang. Mega mengakui tidak mudah memang berjuang memenangkan suara PDIP di Sumbar. 

"Sebelum berangkat ke sini, saya tadi menghadap ke Bu Mega. Bu Mega sampaikan salam kepada saudara sekalian, seluruh kader PDIP di Sumatra Barat, dari pengurus DPD, DPC, ranting, hingga satgas partai," kata Hasto dilansir ANTARA, Minggu (3/7/2022).

Ratusan pengurus dan kader PDIP Sumbar pimpinan Alex Indra Lukman hadir dalam konsolidasi kali ini. Hadir juga kader PDIP yang juga Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan.

Baca Juga: Politikus PDIP Sebut Ganjar Harus Patuh Megawati soal Duet Sama Anies

1. Semua pemimpin mengalami tantangan berat, termasuk kader PDIP

Jalan Terjal PDIP di Tengah Kuatnya Tradisi Islam Masyarakat SumbarIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Menurut Hasto, Megawati menyampaikan bahwa semua kader pasti mengalami banyak tantangan di Sumatra Barat.

"Tapi Ibu Mega bilang Anda tak sendiri. Karena kita adalah kesatuan kekuatan kebangsaan yang menyatu dari Aceh hingga Papua, menyatu di bawah panji-panji nasionalis Soekarnois yang menjadikan rakyat sebagai inti kekuatan Partai," ujar dia.

Hasto mengatakan semua pemimpin lahir dari proses ujian, termasuk kader PDIP. Bahkan sebagai bangsa, Indonesia mengalami gemblengan dan ditempa revolusi.

"Bung Karno dan Bung Hatta saja dibuang di masa penjajahan. Namun ketika mengalami hambatan, pemimpin takkan pernah hilang api perjuangannya," tutur dia.

2. Perjuangan Bung Karno menjadi teladan

Jalan Terjal PDIP di Tengah Kuatnya Tradisi Islam Masyarakat SumbarBung Hatta dan Bung Karno (perpusnas.go.id)

Hasto pun mencontohkan Sukarno saat dibuang di Bengkulu, mengalami bagaimana susahnya kultur yang ada. Namun Bung Karno tak berhenti dan akhirnya memenangkan hati rakyat.

"Apa yang dilakukan Bung Karno dan Bung Hatta adalah kualitas seorang pemimpin yang tak berhenti bergerak di tengah kondisi apapun," kata dia.

Hasto juga menceritakan kerja keras Megawati membangun PDIP. Pada masa Orde Baru, ia bergerak ke rakyat di bawah intaian mata-mata rezim.

"Layaknya tower telepon, apa yang dilakukan Bu Mega dengan keliling Indonesia melantik koordinator kecamatan, bagaikan memasang banyak tower signal. Hampir di seluruh Indonesia. Sehingga akhirnya di 1999 menjadi parpol pemenang pemilu," ujarnya.
​​​​
Dan intinya, kata Hasto, sama seperti yang dilakukan Sukarno dan Megawati, berpolitik adalah bergerak ke rakyat bukan ke elite. Menurut dia, kader PDIP harus mencari ide-ide baru untuk menembus tembok agar semakin dekat dengan rakyat.

"Idea over opinion. Itu yang pertama," ujarnya.

3. Kader PDIP harus kenali kondisi masyarakat Sumatra Barat dengan tradisi Islam yang kuat

Jalan Terjal PDIP di Tengah Kuatnya Tradisi Islam Masyarakat SumbarKetua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri beserta elite PDIP. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Kedua, lanjut Hasto, adalah imajinasi yang inheren atau berhubungan erat dengan kepentingan partai. Ketiga, spirit juang. Menurut Hasto, untuk mencapai ide dan imajinasi itu, harus dengan spirit juang untuk mencapai tahapan-tahapan yang menang harus dilewati.

Hasto menyebut, spirit yang kuat akan melahirkan tekad yang akan mewujudkan tindakan strategis. Tanpa disadari, jika hal itu dilakukan, maka akan mencapai tujuan yang diharapkan.

"Kenali kondisi masyarakat Sumatra Barat dengan tradisi Islam yang begitu kuat. Pahami itu dan bergerak ke bawah, dan selami kehidupan rakyat. Ketika semua dilakukan dengan niat baik, maka rakyat pasti akan menerima kita. Dengan pergerakan seperti itu, partai meyakini bisa memenangkan pemilu tiga kali berturut-turut. Kekuatan kita kalau disatukan akan menjadi kekuatan dahsyat," paparnya.

Baca Juga: Legislator PDIP: Tjahjo Kumolo Tempat Bertanya Semua Orang

4. PDIP selalu kalah pemilu di Sumbar

Jalan Terjal PDIP di Tengah Kuatnya Tradisi Islam Masyarakat SumbarIlustrasi pemungutan suara atau pencoblosan (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)

Dalam sejarahnya, PDIP selalu kalah pemilu di Sumbar, meski peta perolehan suara partai dalam sejumlah pemilu dimenangi partai berhaluan nasionalis yaitu Golkar (2004), Demokrat (2009), Golkar (2014), dan Gerindra (2019).

Fadli Afriandi, dalam jurnalnya berjudul Rendahnya Dukungan terhadap Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan di Sumatra Barat, yang diuggah di laman journal.uinsgd.ac.id menyebut rendahnya suara PDIP di Sumatra Barat disebabkan kurang populisnya partai ini bagi masyarakat Sumatra Barat.

PDIP dianggap kurang sensitif dengan karakter masyarakat Minangkabau, identitas dan kebijakannya tidak sesuai selera masyarakat, serta rekam jejaknya yang kurang bagus bagi masyarakat setempat.

Ini berdampak pada rendahnya perolehan pemilu presiden (Pilpres) maupun pemilu legislatif (Pileg) pasca-reformasi. Misalnya, suara Joko Widodo di Sumatra Barat dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019 yang selalu kalah. Jokowi sebagai kader PDIP dianggap memiliki gaya dan karakter yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat Sumatra Barat, dan kebijakannya dianggap masih belum berpihak pada masyarakat kecil.

Secara sosial budaya, Sumatra Barat merupakan wilayah yang dihuni sebagian besar suku Minangkabau yang merupakan suku asli wilayah ini. Lebih dari 80 persen populasi Sumatra Barat berasal dari Suku Minangkabau (Effendi 2014:109). Suku Minangkabau adalah suku asli Sumatra Barat yang masuk kategori mayoritas.

Ada suku asli yang termasuk suku minoritas, yaitu Suku Mentawai yang mendiami Kabupaten Kepulauan Mentawai (Effendi 2014:109). Selain suku asli, di Sumatra Barat terdapat beberapa suku pendatang yang hidup rukun, yaitu Nias, Aceh, Batak, Jawa, Sunda, Palembang, Lampung, Bugis, Maluku, Papua, Tionghoa dan India (Effendi 2014: 109; Eriyanti 2013:77). Meskipun ada suku-suku pendatang, adat Minangkabau sangat mendominasi pergaulan sosial masyarakat di Sumatra Barat.

Setidaknya terdapat tiga hal yang menyebabkan tidak berhasilnya PDIP meraih banyak suara di Sumatra Barat dalam beberapa pemilu pasca-Reformasi. Pertama, kurang sensitif dengan karakter masyarakat Sumatra Barat. Keberadaan PDIP di Sumbar dianggap kurang menarik bagi masyarakat di sana.

Fakta bahwa masyarakat Sumbar yang mayoritas memeluk Islam dan berkarakter Islam modernis kurang mampu ditangkap oleh PDI Perjuangan. PDIP bukanlah partai berideologi agama, khususnya Islam, melainkan berideologi nasionalis, sehingga banyak tindakan dari partai ini yang dianggap menjauhi kebijakankebijakan yang pro terhadap kemashalatan umat.

Kedua, identitas dan kebijakan PDIP. PDIP merupakan partai berideologi nasionalis dan marhaenisme yang erat dengan nilai-nilai, jati diri, ide, dan prilaku politik Sukarno sang proklamator kemerdekaan (Geraldy 2019: 140). PDIP tidak lepas dari pembelahan ideologi sebagaimana dikonsepkan oleh Clifford Geertz yang membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: santri, abangan, dan priyayi (Geertz 1976).

Menurut Geertz, santri adalah kelompok yang taat kepada ajaran Islam, abangan adalah kelompok yang tidak begitu dekat dengan ajaran Islam tapi lebih ke budaya atau adat, dan priyayi adalah kelompok bangsawan. Dari ketiga kelompok tersebut, PDI masuk ke golongan abangan (Herdiansah, Junaidi dan Ismiati 2017:64).

Partai-partai golongan abangan ini dipandang cenderung kepada partai nasionalis kiri, termasuk di dalamnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun PDIP hadir setelah PKI dibubarkan, terdapat kader PDIP yang keturunan kader PKI seperti Ribka Tjiptaning yang menulis buku Aku Bangga Jadi Anak PKI (Ningtyas 2020).

Ketiga, rekam jejak PDIP. Masyarakat Sumatra Barat adalah pemilih rasional (“Tanggapi Pernyataan Megawati, Pengamat Politik Unand: Pemilih di Sumbar Rasional”). Hal ini juga didukung lembaga survey Voxpol Center Research and Consulting yang menyatakan pemilih rasional di Sumatra Barat tergolong tinggi, yaitu 46,5 persen (Tarmizi 2020).

Pemilih rasional, menurut Lau dan Redlawsk (dalam Afriandi 2019;63), merupakan pemilih yang memiliki kemampuan mengenal, menganalisis informasi mengenai aktor politik, dan memilih berdasar pada kepentingan diri pemilih. Dalam hal ini, rendahnya dukungan masyarakat Sumatra Barat erat kaitannya dengan kiprah PDIP di parlemen.

Masyarakat Sumatra Barat menilai PDIP di parlemen suka berubah sikap dalam membela rakyat. Saat di luar pemerintahan, partai ini sangat gencar membela hak rakyat. Namun, saat berada di dalam pemerintahan, PDIP seperti kehilangan sikap pro-rakyat tersebut. Misalnya, soal harga BBM, kritikan partai terhadap APBN yang habis untuk pembiayaan Aparatur Sipil Negara (ASN), utang luar negeri, kenaikan tarif dasar listrik, impor beras, remisi untuk koruptor, dan juga privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
seperti kasus Indosat di era Megawati.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya