Di Balik Gencarnya Serangan Terhadap Aparat Keamanan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Belum jelas benar apa yang terjadi di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat. Sejak Selasa hingga Rabu, aparat keamanan masih berjaga dengan ketat. Garis polisi juga dipasang. Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Pol. M. Iqbal sendiri mengatakan ada "dugaan tahanan ribut dengan beberapa petugas".
Sementara itu, kelompok teroris ISIS mengklaim menjadi aktor di balik kerusuhan yang diduga melibatkan persenjataan tersebut. Terakhir, ada enam kantong mayat yang dibawa dengan ambulans dari Mako Brimob ke RS Polri. Belum juga ada kejelasan mengenai identitas mayat-mayat tersebut.
1. Serangan di markas aparat bukan hal baru
Meski seharusnya ada penjagaan yang memenuhi standar, nyatanya markas kepolisian tidak sepenuhnya aman dari serangan, baik luar maupun dalam. Salah satu contoh adalah ketika seorang warga sipil yang masuk ke kantor polisi di Banyumas dengan masih menaiki sepeda motor pada April tahun lalu.
Ia membawa parang dan menyerang polisi. Sebelumnya, ia sempat meneriakkan kata "thagut" yang berarti kafir. Pada 2016 lalu juga sebuah bom bunuh diri meledak di halaman Mapolresta Solo, Jawa Tengah. Pelaku yang tewas sempat meneriakkan kalimat syahadat.
Baca juga: Bentrokan di Mako Brimob, 6 Kantong Jenazah Tiba di RS Polri
2. Petugas keamanan juga harus meregang nyawa
Risiko menjadi petugas kepolisian memang tinggi. Namun, tetap saja mengejutkan ketika tiga orang anggota kepolisian yang mengamankan jalannya pawai di Kampung Melayu pada Mei 2017 lalu harus tewas akibat serangan bom bunuh diri.
Editor’s picks
Bukan hanya karena ketiganya tidak sedang dalam tugas berhadapan langsung dengan ancaman, justru karena mereka sedang menjauhkan kemungkinan ancaman-ancaman itu menganggu acara. Apalagi lokasi kejadian adalah tempat terbuka yang ramai oleh warga sipil.
3. Polisi dipandang sebagai musuh teroris dan kelompok radikal
Penyerangan terhadap polisi, menurut Khoirul Ghozali yang merupakan mantan teroris pentolan perampokan Bank CIMB Niaga di Medan pada 2010, salah satunya dilatar belakangi oleh dendam. Dalam wawancara dengan Rappler Indonesia, Ghozali menyebut tak sedikit yang murka kepada polisi karena telah menangkap pelaku terorisme.
Alhasil, generasi baru terpikir untuk menjalankan aksi balas dendam. "Setiap ada polisi yang lewat mereka masih menganggap itu toghut. Kafir. Orang yang membunuh atau pun memenjarakan bapak mereka," ujarnya, merujuk kepada beberapa peserta deradikalisasi di Pesantren Al Hidayah di Deli Serdang yang ia dirikan bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
4. Mereka juga kerap bertugas tanpa senjata memadai
Kebencian terhadap polisi semakin mendapatkan dukungan ketika mereka melaksanakan tugas tanpa dilengkapi persenjataan yang memadai. "Polisi adalah near enemy," kata Ali Fauzi, mantan pentolan teroris anggota Jamaah Islamiyah kepada Rappler Indonesia.
Maksudnya, lanjut Fauzi, mereka adalah sasaran empuk sebab berjaga di tempat keramaian dengan perlengkapan ala kadarnya. Bahkan, tak jarang mereka hanya membawa tongkat. Padahal, semestinya lembaga kepolisian sudah memprediksi ancaman-ancaman yang mungkin terjadi kepada para anggota mereka di situasi-situasi tertentu.
Baca juga: IPW: Polisi Harus Jelaskan Bentrokan di Mako Brimob